TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan menilai, upaya dan komitmen Presiden Joko Widodo dalam memberantas korupsi masih jauh dari memuaskan dalam 100 hari pemerintahannya. Indikatornya, kata Ade, proses pemilihan pejabat penegak hukum seperti jaksa agung dan kapolri yang dinilainya sarat dengan kompromi.
"Masih mengecewakan. Indikatornya proses pemilihan penegak hukum seperti jaksa agung dan polisi, Jokowi masih kompromi. Skornya masih dapat nilai merah Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya," ujar Ade, saat dihubungi, Rabu (28/1/2015).
Ade mengatakan, pilihan jokowi atas sejumlah sosok yang mengisi posisi-posisi strategis mengesankan adanya bagi-bagi kursi. Menurut dia, hal tersebut menimbulkan keraguan apakah komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi benar-benar dijalankan. Jaksa Agung HM Prasetyo merupakan mantan kader Partai Nasdem, salah satu pendukung Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2014.
Belakangan, yang menuai polemik adalah penunjukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Presiden Jokowi tak membatalkan pencalonannya sebagai Kapolri meski telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
"Mestinya presiden tegas karena Kepolisian Kejaksaan, dan KPK merupakan trisula untuk memberantas korupsi. Jadi sangat disayangkan jaksa agung dan kapolri dibuat kompromi," kata Ade.
Komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi, kata Ade, semakin meragukan setelah berbagai peristiwa yang menerpa KPK pasca-penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Perseteruan antara KPK dengan Polri pun terjadi. Sekitar 10 hari setelah status tersangka Budi diumumkan, pihak kepolisian menggelandang Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ke Badan Reserse Kriminal Polri dan langsung diperiksa sebagai tersangka dengan tuduhan memengaruhi saksi untuk memberikan keterangan tidak benar dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi tahun 2010.
Hingga kini, kata Ade, Jokowi belum menyampaikan sikap tegas dan solusi untuk menyelesaikan konflik kedua lembaga penegak hukum itu. Menurut dia, Jokowi seolah melempar 'bola panas' ke KPK atas keputusannya yang tidak tepat menunjuk Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
"Mengecewakan. Sikap Jokowi terhadap konflik KPK dengan polisi tidak tegas, tidak solutif, padahal dipicu oleh Jokowi sendiri yang menunjuk BG. Kemudian malah melempar 'bola panas' ke KPK," kata Ade.
Ade mengatakan, seharusnya Jokowi berkaca pada saat Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono mengatasi konflik antara KPK dan Polri. Saat itu, kata Ade, langkah tegas SBY yang solutif mampu meredam ketegangan yang terjadi antara dua lembaga penegak hukum itu. Meski demikian, Ade melihat masih ada sisi lain yang menunjukkan Jokowi masih memiliki komitmen pemberantasan korupsi. Hal tersebut, kata Ade, terlihat saat Jokowi meminta KPK dan Pusat Pelaporam dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri rekam jejak calon-calon menterinya.
"Ada beberapa hal yang dilakukan Jokowi dan para menterinya misal dalam penyusunan kabinet melibatkan PPATK dan KPK," kata dia.
Selain itu, kebijakan untuk membentuk tim khusus memberantas mafia di sejumlah kementerian dan pelarangan rapat kerja di hotel, menurut Ade, patut diapresiasi. Namun, Ade menyayangkan langkah gemilang Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam menentukan para pembantunya tidak dipertahankan saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri.
"Ternyata itu langkah akhir. Mestinya ini tetap diterapkan," kata Ade. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)