TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana kini dibidik Polri dengan tudingan melakukan korupsi sistem pembayaran online payment gateway dalam fasilitas pelayanan publik.
Apa jawaban Denny atas tuduhan yang disebutnya bagian kriminalisasi antaran dirinya belakangan getol membela KPK?
Denny mengatakan bahwa kasus yang dialamatkan pada dirinya ini adalah bagian kriminalisasi yang dilakukan Polri.
"Ini adalah bagian dari kriminalisasi kepada KPK dan para pendukungnya seperti Saya, Yunus Hussein dan Majalah Tempo. Terindikasi dengan waktunya yang bersamaan dengan advokasi kasus KPK, diproses dengan super cepat, dan dugaan kasus yang berubah-ubah," jelas Denny di Jakarta, Rabu (4/3/2015).
Denny mengatakan bahwa kasus ini tidak hanya kriminalisasi biasa. Menurutnya, ini adalah kriminalisasi pada inovasi pelayanan publik antipungli berbasis tekhnologi. Yakni terkait sistem pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam pembuatan paspor.
"Ini awalnya manual, diubah menjadi elektronik. Dengan berbasis IT, sistem pembayaran pembuatan paspor lebih cepat, mengurangi antrian, lebih transparan, nihil pungli," jelas Denny.
Mengenai tudingan kerugian negara mencapai Rp 32 miliar, menurut Denny itu adalah uang pembayaran biaya paspor yang sudah disetor ke Kemenkeu oleh Bank BNI yang menjadi bank penampung. "Saya dapat laporannya tiap hari dan itu sudah disetor ke Kemenkeu. Jadi tidak ada korupsinya," tegasnya.
Sedangkan biaya Rp 5 ribu untuk mengakses sistem tersebut menurutnya, dalam transaksi yang tersambung dengan perbankan adalah hal yang biasa terjadi.
"Itu adalah wajar; bahkan dalam konteks di Kemenkumhan, biaya demikian tidak wajib. Artinya, jika pemohon paspor keberatan bisa melakukan pembayaran manual yang gratis (Permenkumham Nomor 18 Tahun 2014). Karena biaya itu atas persetujuan pemohon, tidak wajib, maka tidak dapat dikatakan pungli," sambungnya.
Denny juga menambahkan bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dinyatakan bahwa ada perbaikan pelayanan publik, meski juga menemukan beberapa persoalan teknis.
"Yang pasti tidak dikatakan ada kerugian negara, dan tidak ada pula rekomendasi membawa masalah ini ke penegak hukum," lanjut Denny.
"Singkatnya, pembayaran PNBP secara elektronik dalam pembuatan paspor, yang merupakan perbaikan pelayanan publik mengurangi antrian tanpa pungli berbasis teknologi ini, seharusnya diakui sebagai inovasi, dan bukan justru dikriminalisasi apalagi dituduh korupsi, khususnya karena kasus ini sebenarnya terkait advokasi Denny Indrayana dalam menyelamatkan lembaga KPK," tegas Denny.