TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap dua, Serge Areski Atloui pada pagi tadi menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Tanggerang, Banten, Rabu (11/3/2015).
Beradanya Serge di Tanggerang selama satu hari dimanfaatkan oleh keluarga dan pihak kedutaan untuk bertemu dengan warga negara Perancis tersebut. Lantaran setelah ditangkap, hampir sepuluh tahun, Serge mendekam di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan.
Nancy Yuliana, kuasa hukum yang mendampingi Serge dalam sidang PK pagi tadi, mengaku hanya memiliki waktu beberapa menit saja untuk bertemu dengan kliennya tersebut. Pertemuan dilakukan secara singkat di dalam ruang tahanan PN Tangerang sebelum berjalannya sidang.
"Sidangnya satu jaman lebih, ketemu Serge di sel hanya berapa menit, ngantri dengan keluarga dan kedutaan," ujar Nancy lewat sambungan telepone, kepada Tribunnews.
Banyaknya orang yang ingin bertemu, lantaran usai sidang, Serge langsung dibawa kembali ke Nusakambangan.
Dalam pertemuan singkatnya tersebut, menurut Nancy, banyak yang dibicarakan Serge. Selain keinginannya untuk lepas dari hukuman mati, juga mengenai kondisinya di LP.
"Berbicara tentang perlakuan di Lapas Pasir putih yang katanya sangat baik, tidak punya musuh lantaran tidak pernah membuat masalah," kata Nancy.
Sebelumnya, ketika dipinjamkan dari Lapas Pasir Putih ke PN Tanggerang untuk menjalani sidang, Serge dikawal oleh puluhan personil Brimob.
Pengamatan Tribunnews, saat di dermaga Wijaya Pura, Serge di bawa menggunakan empat iring-iringan kendaraan. Jika usai sidang dibawa kembali oleh pihak Lapas, Kemungkinan Serge akan tiba malam ini di Nusakambangan.
Serge ditangkap di pabrik ekstasi, Cikande, Tangerang, pada 11 November 2005 lalu. Serge dijerat atas kepemilikan Psikotoprika golongan 1 seberat 250 Kilogram dan 138,6 Kilogram Methamphetamin.
Serge divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang setahun kemudian, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Di tingkat kasasi, hukuman Serge berubah menjadi hukuman mati. Grasinyapun ditolak pada 30 Desember 2014 melalui Keppres No 35/G Tahun 2014.