Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kritik maupun polemik dalam dunia sastra Indonesia, merupakan hal lumrah dan telah berlangsung bahkan sejak era seniman angkatan '45.
Namun, kekinian, kritik demi memajukan khazanah sastra seperti itu justru bisa merembes keluar dan terpaut masalah hukum.
Si pengkritik, pada era ini, justru bisa dituduh melakukan perbuatan pidana oleh pihak yang merasa dirugikan.
Setidaknya, itulah yang terjadi pada penyair cum aktivis Saut Situmorang.
Kritik yang dilancarkan penyair realis atas buku kontroversial "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" malah menuai gugatan hukum.
Dirinya dilaporkan ke Polres Jakarta Timur oleh Fatin Hamama, wanita yang mengaku sebagai penyair. Fatin dinilai banyak pihak sebagai "makelar" konsultan politik Denny JA yang menyebabkan nama terakhir itu nangkring dalam buku tersebut.
Bahkan, Kamis (26/5/2015), Saut dijemput paksa aparat kepolisian untuk dimintai keterangan. Pasalnya, ia sudah kali kedua tidak memenuhi pemanggilan polisi.
"Iya, saya mendapat panggilan ketiga dari Polres Jakarta Timur, untuk diperiksa sebagai saksi dalam tuduhan kasus pencemaran nama baik Fatin Hamama," tutur Saut kepada Tribunnews.com, Kamis sore.
Saut menuturkan, dirinya sama sekali tak pernah berniat apalagi menghina persona Fatin.
Ia menuturkan, inti kritik yang dilancarkan dirinya adalah substansi penilaian terhadap 33 sastrawan yang masuk dalam buku kontoversial tersebut.
Sebab, dalam buku tersebut, terdapat nama Denny Januar Adil (Denny JA) yang dikenal sebagai konsultan politik. Denny JA disandingkan dengan sastrawan besar Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, HB Jassin
"Yang dipersoalkannya (Fatin) adalah komentar saya dalam laman komunitas Facebook 'Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh'. Di menuduh saya mencemarkan nama baik pribadinya. Padahal, sesuai nama lamannya, itu adalah kritik saya terhadap buku tersebut," jelasnya.
Saut menjelaskan, kritik merupakan hal lumrah dan menempati posisi penting dalam sastra di negara mana pun.
"Kalangan sastrawan Indonesia sejak dulu juga akrab dengan kritikan, bahkan kritik paling pedas sekali pun. Tapi anehnya, kritik semacam itu kini malah dituduh sebagai pencemaran nama baik," tandasnya.
Buku Kontroversial
Berdasarkan penelusuran Tribun, buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" menuai kehebohan sejak kali pertama diterbitkan pada tahun 2014.
Sebabnya, terdapat nama konsultan politik Denny JA dalam buku itu. Denny dianggap berpengaruh karena diklaim memperkenalkan gaya baru sastra, yakni "puisi-esai".
Padahal, Denny baru beberapa tahun sebelumnya mulai menerbitkan kumpulan puisi.
Buku ini, oleh banyak pihak, dinilai sebagai upaya pembodohan dan melamurkan pemahaman masyarakat terhadap sejarah panjang sastra Indonesia.
Bahkan, mahasiswa, intelektual, dan sastrawan bahu membahu menggelar aksi protes maupun petisi untuk menolak serta agar buku kontroversial itu ditarik dari peredaran.
Setelah buku itu terbit, terdapat buku "puisi-esai" yang ditulis oleh 23 sastrawan.
Belakangan, empat di antara 23 sastrawan itu mengaku "diperalat" Denny dalam proyek buku "puisi-esai".
Buku itu, dinilai sebagai "proyekan: demi memuluskan posisi Denny sebagai "penemu gaya baru bersastra" dan pantas masuk buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh."
Keempat penyair yang membuat pengakuan itu adalah Ahmadun Yosi Erfanda, Chavcay Saifullah, Kurnia Effendi dan Sihar Ramses Simatupang.