TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri membeberkan sikap politik partainya dalam pidato pembukaan kongres ke IV PDIP di Sanur, Bali, Kamis (9/4/2015).
Dalam pidatonya Megawati menyinggung banyak hal.
Berikut pidato lengkap Megawati dikutip Tribunnews.com:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Damai Sejahtera bagikita semua
Om Swastiastu
Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Yang saya hormati,
1. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
2. Para Senior Partai yang menjadi saksi perjuangan Partai, yakni Bapak ………
3. Para Petugas Partai yang duduk di Kabinet Kerja dan di lembaga legislatif.
4. Para Ketua Umum Partai …..
5. Para Tamu Undangan;
6. Rekan-rekan Pers;
7. Hadirin yang berbahagia;
8. Saudara-saudara utusan Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang saya banggakan,
9. Kader-kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di pelosok negeri yang saya banggakan dan cintai;
10. Para relawan yang hadir di sini;
11. Para Perwakilan PDI Perjuangan di Luar Negeri,
12. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah air
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga sejarah PDI Perjuangan kembali kita torehkan di Bali. Di tempat inilah lima tahun yang lalu, jalan ideologi Partai kita canangkan. Dari tempat ini pula, tekad Partai untuk memperjuangkan dan membumikan ide, gagasan, pemikiran dan cita-cita Bapak Bangsa kita Bung Karno terus dikumandangkan.
Saudara-saudara,
Bali tidak hanya menjadi tiang penyangga kekuatan Partai. Di Pulau Dewata inilah aksara api kesejarahan Partai dituliskan. Aksara kesejarahan berwarna merah membara, yang justru terlihat semakin terang, ketika rintangan kegelapan menghadang. Di tempat ini pula suluh perjuangan kita nyalakan, menjadi api perjuangan yang tidak akan pernah padam. Kekuatan inilah yang menciptakan energi juang, sehingga akhirnya, PDI Perjuangan dipercaya rakyat menjadi pemenang pemilu legislatif dan sekaligus pemilu presiden tahun 2014. Kemenangan itu meyakinkan kita semua, bahwa jalan yang kita tempuh adalah benar.
Selanjutnya, perkenankanlah saya mengajak saudara untuk memaknai Indonesia, Indonesia Raya, yakni Indonesia yang saat itu berjaya dan begitu mewarnai dunia. Saya ingin menyoroti salah satu momen bersejarah yang ikut merubah tatanan dunia. Enam puluh (60) tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 18-24 April 1955, Bung Karno mencetuskan Konferensi Asia-Afrika. Konferensi menghasilkan kesepakatan Dasasila Bandung yang membangunkan kesadaran baru bagi bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk mendapatkan hak hidup sebagai bangsa merdeka.
Namun, negara-negara yang baru merdeka tersebut, pada waktu itu dihadapkan pada tantangan baru, berupa rivalitas dua blok besar, yakni Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia pun kembali menjadi pelopor Gerakan Non Blok.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Apa yang saya sampaikan di atas, tidak hanya bertujuan menggelorakan kembali kepemimpinan Indonesia di dunia internasional. Benang merah kemerdekaan untuk persaudaraan dunia tersebut, sangatlah relevan untuk direnungkan kembali. Lebih-lebih menjelang peringatan Konferensi Asia Afrika yang sebentar lagi kita rayakan. Inilah pelajaran yang dapat kita petik, bahwa bangsa ini pernah mengukir sejarah gemilang, dan berani menyuarakan suatu tatanan dunia baru, To Build The World A New pada tanggal 30 September 1960 di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa. Semua peristiwa tersebut terjadi pada Abad 20. Di Abad 21 ini, kita memahami bagaimana pemikiran Bung Karno selain visioner, juga malampaui pemikiran Abad 20.
Saudara-saudara sekalian,
Kepeloporan Indonesia di atas, hanya terjadi karena semangat juang. Mereka berjuang dengan penuh keyakinan, tanpa terpengaruh oleh opini yang dipublikasikan. Inilah dasar-dasar kepemimpinan Indonesia. Kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat, dan pada saat bersamaan, setia pada konstitusi. Kesetiaan pada konsitusi ini sifatnya mutlak. Pemimpin memang harus menjalankan kewajiban konstitusionalnya tanpa menghitung apa akibatnya. Karmane Vadhikaraste Ma Phaleshu Kada Chana: Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya. Kepemimpinan yang seperti ini, hanya akan muncul apabila ia sungguh memahami sejarah bangsanya; memahami siapa rakyatnya, dan memahami darimana asal-usulnya.
Untuk itulah, guna mengkontemplasikan kepemimpinan Indonesia, saya mengajak kita semua untuk melihat ke dalam, tentang hal-hal fundamental, tentang cita-cita besar, dan keparipurnaan gagasan Indonesia Merdeka. Dengan cara ini, kita akan menemukan bahwa kepercayaan diri menjadi modal utama. Kita tidak boleh merasa minder dengan negara adidaya sekalipun. Lihatlah peristiwa 10 November 1945. Lihat juga catatan sejarah ketika angkatan perang Indonesia menjadi terkuat di belahan bumi selatan Katulistiwa pada periode 1960-an.
Saudara-saudara, kader Partai yang saya banggakan,
Di tengah berbagai persoalan yang kita hadapi saat ini, menjadi tugas kita untuk terus membangunkan spirit dan kebanggaan sebagai bangsa. Di sinilah revolusi mental diperlukan. Keseluruhan cerita kepeloporan Indonesia di atas adalah bukti, bahwa di tangan pemimpin yang sudah mengalami revolusi mental, bangsa ini menjadi begitu disegani.
Revolusi mental melahirkan jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan. Republik Rakyat Tiongkok dan Singapura memberi contoh. Mereka membangun manusia yang berwawasan luas, berdisiplin, dan memiliki kepercayaan total dengan pemimpinnya. Pemimpinnya sendiri, mampu menjadi jembatan dan sekaligus penyambung lidah bagi rakyatnya. Kita tidak boleh ternina-bobokkan atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Buat apa semuanya itu, ketika justru bermalas-malas, dan membiarkan penggerogotan mental terus terjadi. Bahkan, kita juga membiarkan segala sesuatunya di republik ini tidak dapat dikelola secara berdikari. Bung Karno menegaskan, “Berdikari bukan saja tujuan. Yang tidak kalah pentingnya, berdikari merupakan prinsip dan cara mencapai tujuan itu. Semuanya adalah prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri dengan bangsa lain. Kerjasama dengan asing misalnya, harus dijalankan atas kesamaan derajat dan prinsip saling menguntungkan”. Dengan demikian, percaya pada kekuatan rakyat sendiri adalah inti dan esensi atas jalan sebagai bangsa yang berdaulat dan berdikari. Di sinilah revolusi mental seharusnya dijalankan.