TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menterinya dinilai sudah sepantasnya mengevaluasi diri untuk tak terburu-buru mengeksekusi para terpidana mati.
Menurut Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar hal ini merupakan imbas dari citra penegak hukum pemerintah Indonesia dengan menghilangkan nyawa orang.
"Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Presiden harus mengevaluasi diri. Jangan berburu-terburu dengan nyawa orang," kata Haris kepada wartawan, di Equity Tower, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (15/4/2015).
Dia menilai presiden Jokowi telah gagal melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri.
"Kita berduka cita dengan Siti Zaenab. Dalam persepktif hukum, ini tuah bagi pemerintah Indonesia," kata Haris.
Seperti diketahui, Siti Zainab, dieksekusi di Madinah, Arab Saudi, pada Selasa (14/4/2015) pada pukul 10.00 waktu setempat.
Sebelumnya, Siti Zainab dipidana atas kasus pembunuhan terhadap istri dari pengguna jasanya yang bernama Nourah Bt Abdullah Duhem Al Maruba pada tahun 1999. Dia kemudian ditahan di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999.
Setelah melalui rangkaian proses hukum, pada 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati atau qishash kepada Siti Zainab. Dengan jatuhnya keputusan qishash tersebut maka pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris korban.
Namun, pelaksanaan hukuman mati tersebut ditunda untuk menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia akil baliq.
Pada tahun 2013, setelah dinyatakan akil balig, Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi telah menyampaikan kepada pengadilan perihal penolakannya untuk memberikan pemaafan kepada Siti Zainab dan tetap menuntut pelaksanaan hukuman mati. Hal ini kemudian dicatat dalam keputusan pengadilan pada tahun 2013.