TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung akhirnya menunda eksekusi mati terpidana narkoba Mary Jane.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon pun angkat bicara mengenai penundaan tersebut.
"Kalau menurut saya, hukuman mati dilematis," kata Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/4/2015).
Ia menjelaskan penegakan hukum harus dilakukan. Pemerintah harus mendorong eksekusi mati.
Namun disisi lain, harus dipertimbangkan faktor yang melatarbelakangi kasus Mary Jane. Dimana warga Philipina itu merupakan korban human trafficking.
"Tentu kita harus berikan ruang. Yang harus kita incar itu bandar narkoba jangan pion-pionya. Saya kira masih banyak yang di-list ya segera harusnya dilakukan," kata Politisi Gerindra itu.
Sedangkan terkait permintaan penolakan hukuman mati dari negara lain, Fadli menilai hal itu dikembalikan kepada Presiden Joko Widodo.
Namun, ia mengingatkan era Soekarno juga terdapat hukuman mati warga negara asing.
"Meski bukan karena kasus narkoba. Tapi John F Kenedy kirim (utusan) dan minta keringanan justru dengan Bung Karno dibebaskan. Jadi saya kira kita harus jaga hububungan baik. Tapi itu keputusan dan pilihan dari presiden," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung menunda pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati Mary Jane.
"Eksekusi Marry Jane ditunda karena ada permintaan dari Presiden Filipina," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tonny T Spontana dalam pesan singkat.
Permintaan tersebut diajukan setelah tersangka perekrut Marry Jane, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina, Selasa (28/4/2015). Marry Jane (MJ) pun diperlukan untuk memberikan kesaksian dalam pemeriksaan terhadap Sergio.
"Pelaku yang diduga melakukan perdagangan manusia menyerahkan diri di Filipina, dan kesaksian MJ diperlukan," kata Tonny.