Tribunnews.com, Jakarta - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Namun, polisi tengah mendalami peran seorang pejabat SKK Migas berinisial DH dalam kasus itu.
Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Victor Edison Simanjuntak mengatakan, penyidik baru menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas kasus tersebut. Dalam sprindik yang telah dikirim kepada Kejaksaan Agung itu, penyidik mencantumkan nama DH.
"Yang bersangkutan (DH), pejabat dari SKK Migas," ujar Victor di Wisma Mulia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (6/5/2015) dini hari.
Penyidik menunggu hasil pemeriksaan atas sejumlah dokumen yang disita dari kantor SKK Migas di Wisma Mulia dan kantor PT TPPI di Miz Plaza. Jika gelar perkara menunjukkan dokumen-dokumen tersebut membuktikan adanya tindak pidana korupsi atau pencucian uang, maka Victor memastikan akan segera mengeluarkan surat penetapan DH sebagai tersangka.
Victor belum bersedia mengungkap apa peran dan jabatan DH dalam dugaan tindak pidana itu. Yang jelas, SKK Migas pernah menunjuk langsung PT TPPI untuk penjualan kondensat bagian negara pada 2009. Namun, penunjukan itu tidak melalui ketentuan, yakni Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Konsensat Bagian Negara.
Tindakan itu melanggar Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan atau Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain DH, polisi juga mendalami keterlibatan orang lain dalam kasus yang disebut merugikan keuangan negara hingga 156 juta dollar AS atau lebih dari Rp 2 triliun tersebut. Namun, polisi tak mau tergesa-gesa mengungkap siapa mereka.
"Lebih baik kita tunggu pengembangannya saja. Kalau belum bulat itu tidak baik diungkapkan," ujar Victor. (Fabian Januarius Kuwado)