TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ajakan islah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi muktamar Surabaya, Romahurmuziy terkesan seperti ajakan perang terbuka kata Sekjen DPP PPP versi muktamar Jakarta, Dimyati Natakusumah. Pasalnya, dalam ajakan tersebut Romy menyelipkan tudingan.
"Kalau mau islah itu kan tidak menjelekkan, ini kan seolah-olah mengajak perang terbuka, Ketua Umum kami seolah dianggap tidak layak," kata Dimyati kepada wartawan di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/6/2015).
Romahurmuziy atau yang akrab dipanggil Romy, dalam tawaran islahnya sempat menyinggung Ketua Umum DPP PPP versi muktamar Jakarta, Djan Faridz yang menurutnya tidak layak.
Sesuai AD/ART partai, calon Ketua Umum maupun Ketua Umum harus berpengalaman menjabat ketua DPP. Romy menuding Djan Faridz tidak pernah menjabat ketua DPP sebelumnya.
Selain itu Romy juga menghimbau Djan Faridz menanggalkan jabatan yang bukan haknya itu, karena mengancam masa depan partai. Ia bersedia islah dan menawarkan jabatan apapun untuk Djan Faridz, kecuali jabatan Ketua Umum DPP.
Dimyati pun tidak terima Djan Faridz dianggap tidak layak sesuai AD/ART. Sejak partai berlambang Ka'bah itu dipimpin Hamzah Haz, Djan Faridz sudah menjabat ketua DPP. Terakhir pada masa kepengurusan Suryadharma Ali, Djan Faridz menjabat sebagai anggota dewan pakar.
"Ketua Umum Djan Faridz kan dipilih secara aklamasi oleh muktamirin (red: peserta muktamar)," ujarnya.
Ia mengklaim muktamar Jakarta sebagai muktamar yang sah. Sedangkan muktamar Surabaya, di mana Romy terpilih sebagai Ketua Umum, jelas-jelas melanggar AD/ART.
Satu-satunya kekuatan muktamar tersebut, adalah mereka di"bekingi" Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly.
Dimyati juga menyebut, sejatinya PPP kubu Djan Faridz menggelar islah bukan dengan Romy, melainkan dengan Yasonna.
Ia berharap kubunya bisa berdamai dengan Yasonna, untuk tidak mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), yang didaftarkan PPP.