Di dalam literatur ilmu pemerintahan dikatakan bahwa kekuasaan mengatur pemerintahan itu terbagi atas vertikal dan horizontal. Pembagian secara vertikal melahirkan sistem pemerintahan yang federalistik dan unitaristik. Adapun yang horizontal melahirkan sistem pemerintahan yang dipimpin presiden (presidensial) dan sistem pemerintahan yang dikendalikan parlemen (parlementer). Indonesia semenjak awal merdeka mengikuti sistem negara kesatuan yang pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem presidensial. Hanya pernah di tengah-tengah sistem presidensial itu berlaku pula sistem perlementer dengan banyaknya partai politik yang dibentuk di awal kemerdekaan.
Di negara kesatuan prinsip manajemen kekuasaan pemerintahan itu penggunaannya berada di tangan pemerintah pusat. Adapun kekuasaan di pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi dari pemerintah pusat.
Sistem desentralisasi itu tidak memberikan seluruh kewenangan pemerintah itu kepada pemerintah daerah, melainkan memberikan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Bukan seperti undang-undang tentang pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa seluruh kewenangan pemerintahan berada di daerah, kecuali enam kewenangan absolut yang di pemerintah pusat.
Adapun cara mendelegasikan kewenangan itu berdasarkan prinsip the pleasure of central government,tergantung pada kemurahan hati pemerintah pusat. Dari sistem ini, maka di negara kesatuan adakalanya berlaku sentralisasi (pemerintahan Orde Baru) dan ada pula yang luas desentralisasinya (seperti sekarang ini). Prinsip otonomi sebenarnya bukan melekat pada sistem negara kesatuan, melainkan amat sesuai digunakan oleh pemerintah federalistik karena negara-negara yang otonom (states) sepakat melimpahkan kewenangannya yang pelaksanaannya lebih baik dilaksanakan oleh pemerintah federal yang dibentuknya.
Negara kita menggunakan otonomi semula untuk membedakan antara pemerintah daerah yang bersifat administratif dan yang otonom. Adapun pemerintah daerah otonom itu adalah pemerintah daerah yang mampu membuat sendiri peraturan daerahnya, mampu membiayai sendiri dengan anggaran daerahnya, dan yang dilaksanakan oleh pegawai daerah sendiri. Membuat sendiri peraturan daerah mengharuskan pemerintah daerah otonom harus ada lembaga DPRD, dan mempunyai APBD sendiri beserta pegawai daerah sendiri (lihat UU No 5 Tahun 1974).
Semenjak reformasi pemerintahan daerah yang otonom ditegaskan untuk memberikan diskresi kepada daerah untuk mengatasi masalah-masalah daerahnya sehingga mampu melahirkan suatu tata pemerintahan daerah yang bisa menyejahterakan rakyat daerahnya, bukannya menyejahterakan pimpinan daerahnya.
Demikian pula di negara kesatuan tidak diperlukan pemikiran tentang titik berat otonomi daerah, apakah di pemerintah daerah kabupaten/kota atau di pemerintah provinsi. Karena prinsipnya di negara kesatuan kepentingan pemerintah pusat diwujudkan membentang di seluruh jajaran atau tingkatan pemerintahan dari pusat sampai pada tingkat terbawah.
Ibarat wayang kulit, batang tubuh wayang kulit yang lemas itu tidak bisa dijalankan oleh dalang jika wayang itu tidak digapit oleh kayu penjalin kecil yang kuat membujur dari kepala (puncak) sampai di bawah sehingga bisa ditancapkan pada batang pisang oleh si dalang. Tidak ada wayang kulit yang kayu penggapitnya itu lemas, apalagi hanya sampai di tengah-tengah tubuh wayang.
Bukan seperti UU Pemerintahan Daerah kita, kayu penggapit wayang otonomi itu sebenarnya mewakili kepentingan pemerintah pusat hanya sampai ke gubernur di tengah-tengah tubuh wayang otonomi, tidak sampai pada tataran jenjang pemerintah daerah terbawah di kabupaten dan pemerintah kota. Dalang otonomi merasakan betapa sulitnya menganalisis pelaksanaan otonomi daerah
Kepala daerah di negara kesatuan
Di bulan Desember tahun ini kita akan memilih kepala-kepala daerah yang pencalonannya seperti diutarakan di muka diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau independen yang ciri daerahnya sangat diutamakan. Bahkan mulai sekarang ini sudah mulai banyak orang yang berburu KTP supaya bisa menjadi orang daerah yang akan menjadi calon kepala daerahnya. Jika syarat ini yang diutamakan, maka kepala-kepala daerah itu nantinya cenderung akan memperkuat putusnya kayu penjalin seperti yang diuraikan di atas.
Kepala daerah di negara kesatuan yang akan mewakili kepentingan sektarian partai politik dan kedaerahannya ketimbang kepentingan altruistik nasionalisme. Oleh karena itu, persyaratannya harus ditambah dengan menekankan terhadap calon yang memahami sistem dari suatu negara kesatuan. Calon harus paham dan mampu mengamalkan dalam administrasi pemerintahan daerah nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan kebangsaan. Calon harus paham secara sempurna penyelenggaraan pemerintahan nasional dan daerah. Calon harus mampu memahami konstitusi kita, mengetahui dan memahami semua peraturan perundangan nasional.
Selain itu, peraturan dan kebijakan perundangan yang menekankan adanya wakil pemerintah pusat hanya berada di salah satu tingkat dan jenjang pemerintahan perlu disempurnakan. Demikian pula titik berat pelaksanaan otonomi yang diletakkan di salah satu tingkat atau jenjang pemerintah di kabupaten atau provinsi perlu dihapus, karena di negara kesatuan itu pelaksanaan kewenangan pemerintah membentang pada seluruh wilayah dan daerah dari pusat sampai ke daerah. Titik beratnya berada di pemerintah nasional atau pusat, sedangkan kewenangan di pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi.
Adapun titelatur atau sebutan untuk kepala daerah bisa disarankan seperti yang dipergunakan oleh UU No 5 Tahun 1974, misalnya gubernur kepala daerah, bupati/wali kota kepala daerah. Sebutan gubernur, bupati, dan wali kota sebagai jabatan yang mewakili kepentingan pemerintah nasional atau pusat, dan sebutan kepala daerah mewakili kepentingan orang atau pemerintah daerah masing-masing.