Oleh: James Luhulima
TRIBUNNEWS.COM - Akhir-akhir ini pembahasan tentang reshuffle (pergantian anggota kabinet) ramai menghiasi surat kabar. Bukan hanya oleh orang luar, melainkan juga oleh orang dalam kabinet sendiri. Salah satunya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.
Pada 22 Juni 2015 malam, ia mengatakan, ”Setiap menteri, termasuk dirinya, harus siap dan ikhlas jika sewaktu-waktu diganti oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.”
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif setelah pertemuan tertutup dengan Presiden Joko Widodo, 29 Juni 2015 malam, membenarkan adanya isyarat pergantian anggota kabinet. ”Saya lihat isyaratnya, tetapi saya tidak ingin mendahului Presiden,” kata Syafii. Disebutkan, terkait menteri pengganti, Syafii memberikan saran kepada Presiden untuk mencari sosok yang profesional di bidangnya.
Informasi yang diperoleh Kompas menyebutkan, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang semula akan melakukan pergantian anggota kabinet setelah Lebaran akhirnya mempercepat waktunya.
Akan munculnya isu reshuffle sesungguhnya diduga sejak awal terbentuknya Kabinet Kerja, 27 Oktober 2014. Pada saat itu, penunjukan anggota kabinet dilakukan dengan pertimbangan politik, dan bukan pertimbangan profesional, sehingga wajar saja jika ada menteri-menteri yang dinilai kurang cocok menempati posisinya. Mereka inilah yang berpotensi akan di-reshuffle.
Seiring dengan perjalanan waktu, dirasakan bahwa kinerja pemerintah tidak seperti yang diharapkan. Itu sebabnya, akhir-akhir ini, muncul desakan kepada Presiden Jokowi untuk melakukan reshuffle. Tidak dimungkiri bahwa isu reshuffle itu sedikit banyak mengganggu kinerja menteri-menteri yang disebut-sebut akan di-reshuffle.
Keputusan tentang apakah reshuffle akan dilakukan atau tidak, itu sepenuhnya tergantung kepada Presiden Jokowi. Sayangnya, Presiden Jokowi tidak membuat persoalannya menjadi lebih jelas.
Ia tidak membantah dan juga tidak membenarkan akan melakukan reshuffle (dalam waktu dekat). Saat ditanya wartawan di sela-sela kunjungan kerja di Cilacap, Jawa Tengah, 30 Juni lalu, Presiden Jokowi meminta para menteri Kabinet Kerja untuk tetap fokus bekerja di bidang masing-masing.
Para menteri juga tidak perlu khawatir dengan penilaian pihak luar karena evaluasi kinerja dilakukan langsung oleh Presiden. Dalam kesempatan itu, Presiden juga mengingatkan pihak lain untuk tidak mencoba mengusik para menterinya dalam bekerja.
Profesional
Keputusan untuk melakukan reshuffle itu berada di tangan Presiden. Itu sebabnya, biarlah Presiden memutuskan untuk melakukannya atau tidak. Kita hanya bisa mengingatkan agar kalau mau reshuffle, lakukanlah secepatnya, dan jangan digantung seperti sekarang ini. Dan, jika reshuffle dilakukan, kita mengimbau agar posisi-posisi yang dikosongkan itu diisi oleh menteri-menteri yang dipilih secara profesional, dan tidak menggunakan pertimbangan politik seperti di masa yang lalu. Jika menggunakan pertimbangan politis, dapat diduga dalam waktu tidak terlalu lama, isu reshuffle akan muncul kembali.
Lebih runyam lagi jika posisi menteri diisi dengan menggunakan pertimbangan balas jasa, atau hanya untuk memberikan posisi kepada orang yang dianggap telah berjasa dalam memuluskan jalan bagi Jokowi ke kursi presiden.
Seperti yang disebutkan di atas, jika Presiden melakukan reshuffle, kita mengimbau agar pemilihan menteri pengganti dilakukan dengan pertimbangan profesional sehingga mendapatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. Sebagai presiden yang dalam Pemilihan Presiden 2014 dipilih oleh lebih dari 70,6 juta orang, atau 53,15 persen, seharusnya Jokowi tidak perlu terlalu khawatir terhadap tekanan-tekanan yang muncul dari partai politik, termasuk dari partainya sendiri.
Itu mengingat dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 suara yang diraih lima partai politik teratas hanya sedikit di atas sepertiga suara yang diperoleh Presiden Jokowi. PDI-P meraih 23,7 juta suara (18,95 persen), Golkar 18,4 juta suara (14,75 persen), Gerindra 14,76 juta suara (11,81 persen), Demokrat 12,7 juta suara (10,19 persen), dan PKB 11,3 juta suara (9,04 persen).
Apalagi Kabinet Kerja yang dipimpinnya telah bekerja selama delapan bulan sehingga Presiden Jokowi telah merasakan sendiri bagaimana memimpin suatu kabinet yang dibentuk dengan pertimbangan politik. Kita sungguh-sungguh berharap Presiden Jokowi tidak mengulang kembali kesalahan yang sama.
Kita melihat, Presiden Jokowi memerlukan sosok yang berpengaruh di dalam tim ekonominya untuk meyakinkan masyarakat luas bahwa tim ekonomi di dalam kabinet yang baru itu dapat diandalkan dalam mengatasi persoalan ekonomi yang menghadang di depan.
Namun, kita juga menyadari bahwa reshuffle tidak akan serta-merta menyelesaikan semua masalah. Dari luar memang semuanya terlihat mudah, tetapi jika sudah benar-benar berada di dalam, barulah disadari besarnya persoalan yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah upaya mengendalikan harga-harga bahan pokok tidak semudah dipersepsikan banyak orang. Tali-temali persoalannya sedemikian rumit sehingga mengatasinya juga tidak mudah. Itu baru menyebutkan salah satu contoh, masih banyak lagi contoh yang tidak kalah rumit penanganannya.
Akan tetapi, kita yakin jika kabinet diduduki oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing, dan mempunyai kepribadian yang baik, persoalan yang dihadapi bangsa ini dapat diatasi. Biarlah waktu yang akan membuktikan itu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2015, di halaman 2 dengan judul "”Reshuffle”".