TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asep Warlan Yusuf meminta partai politik melalui kader-kadernya di DPR untuk membuka keran calon perseorangan dan merubah aturan perundangan.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung,Jawa Barat ini mengatakan hal ini masih lebih baik daripada membiarkan pemerintah membuat perppu agar calon perorangan bisa tetap ikut Pilkada serentak.
“Daripada memaksakan diri memaksakan calon perorangan maju pilkada dan memaksa presiden mengeluarkan perppu. Saya yakin jika syarat calon perseorangan dibuat ringan, maka akan banyak calon yang muncul sehingga permasalahan calon perseorangan bisa diatasi. Mengeluarkan perppu agar tetap ada pilkada meski cuma ada calon tunggal, jelas tidak demokratis. Kalau mau demokratis, mudahkan syarat calon independen,” ujar Asep ketika dihubungi, Rabu (29/7/2015).
Menurutnya, syarat calon perseorangan sangat berat karena harus mengumpulkan dukungan suara 6,5 persen penduduk daerah dimana calon akan maju yang dibuktikan dengan foto copy KTP masyarakat. Ibaratnya menurut Asep, calon perseorangan sudah dipersulit dari sejak mendaftar.
”Dulu syaratnya cuma 3,5 persen, tapi itu kini dinaikkan. Semakin berat calon perseorangan untuk maju. Ibaratnya belum bertarung dan berkompetisi dalam pilkada saja, mereka sudah diperberat untuk maju dengan berbagai persyaratan tersebut,” katanya.
Dia pun mengkritik sikap partai politik yang lari dari tanggung jawab untuk mengusulkan calon dalam pilkada sehingga hanya muncul calon tunggal di beberapa daerah. Partai politik menurutnya telah gagal menjalankan fungsinya untuk mencetak kader-kader pemimpin bangsa.
Partai politik tidak seharusnya memiliki sikap inferior atau rendah diri terhadap calon yang dianggap kuat sehingga tidak mau mengajukan calon.
“Sudah membuat persyaratan sulit untuk anak bangsa menjadi pemimpin di daerah dengan membuat aturan dan syarat yang berat bagi calon independen, ternyata partai politik juga tidak memanfaatkan hal itu. Ibaratnya partai politik sudah dikasih hak monopoli, tapi dia tidak gunakan haknya. Itu kan jadi kelihatan tidak benar,” ujarnya.
Terkait dengan usulan agar dibuat kotak suara kosong untuk melawan calon tunggal, Asep mengatakan bahwa hal itu pernah ada aturannya yaitu UU Desa no 5 tahun 1979. Namun hal itu sudah tidak sesuai lagi dengan era saat ini.
”Dulu dalam pemilihan kepala desa memang ada aturan seperti itu. Calon tunggal lawan bumbungan kosong. Kalau bumbungan yang menang, maka harus ada calon lain,” katanya.