Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana tetap yakin tak melakukan tindak pidana korupsi. Penyidik Bareskrim telah menetapkan dirinya sebagai tersangka di kasus ini payment gateway.
"Menurut saya itu bukan korupsi, itu inovasi. Persoalan teknis didiskusikan, saya siap," kata Denny kepada wartawan di sela diskusi 'Komposisi Pimpinan KPK Ideal,' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (2/8/2015).
Denny telah mendatangkan ahli meringankan yakni Profesor Eddy OS Hiariej dari UGM untuk memberikan keterangan di depan penyidik Bareskrim. Sebagai ahli pidana, Eddy memberikan keterangan tidak ada unsur pidana di kasus payment gateway. Denny beralasan hanya berniat memperbaiki pelayanan publik lewat payment gateway.
"Enggak ada aliran ke saya, langsung ataupun tak langsung. Enggak ada penunjukan langsung. Ini perbaikan pelayanan publik. Kita dorong saat wamen. Sumbatannya ada di proses pembayaran," tutur dia.
Ia mencontohkan kantor pelayanan pembuatan paspor di Jakarta Selatan. Di mana, orang harus mengantre dari pukul 05.00 WIB dan menunggu lima jam untuk membayar paspor. Ia pun mengubah sistem pembayaran dari manual ke online.
"Intinya pembayaran manual jadi online, menghilangkan calo. Kalau manual bayar paspor ke calo, uang dikasih ke calo. Kalau sistem online enggak bisa. Masak kita ngasih ATM ke calo, dengan sistem itu dapat memperpendek pembuatan paspor dan menghilangkan calon," terang Denny.
Denny telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi payment gateway. Dia diduga menyalahgunakan wewenang dalam program sistem pembayaran paspor elektronik di Kementerian Hukum dan HAM.
Atas perbuatannya dia dijerat dengan Pasal 2 ayat 2, Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.
Kasus itu dilaporkan pertama kali oleh Syamsul Rizal pada 10 Februari 2015. Pelaporan tersebut menyebutkan bahwa Denny Indrayana sebagai terlapor. Kasus itu diduga merugikan negara sebesar Rp 32 miliar.