TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar, Hengky Wijaya, mengakui dirinya tidak merugikan keuangan negara terkait Proyek PDAM di Kota Makassar tahun anggaran 2006-2012.
Kuasa hukum Hengky Wijaya, Arfa Gunawan mengatakan, proyek yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Makassar itu dipastikan justru menguntungkan negara.
"Bersama-sama merugikan negaranya dimana? Kami bingung, karena kami tidak menjual barang," kata Arfa Gunawan usai mendampingi klienya menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Arfa menjelaskan, pihaknya bingung dengan pemahaman KPK terkait proyek ini. Menurut Arfa, perusahaan kliennya tidak berinvestasi. Melainkan bekerja sama dengan PDAM dalam proyek rehabilitasi, kelola, dan transfer pengelolaan air.
"Pemahaman KPK kita melakukan investasi. Kita tidak investasi di barang. Kita tidak jual barang ke PDAM. Kita tidak jual pipa ke PDaM. Tapi kita, melakukan rehabilitasi terhadap pipa air di PDAM, kemudian kita menagihnya dengan menjual air curah kepada PDAM," katanya.
Sementara itu, terkait pemeriksaan kali ini, Arfa mengaku jika klienya dikonfirmasi seputar kerjasama tersebut.
"Sampai pemeriksaan lanjutan kedua, kita masih bingung dengan kerugian negara, yang diakibatkan oleh klien kami. Karena tidak ada pertanyaan dari penyidik ataupun bukti-bukti yang mengarah kesana, yang diperlihatkan penyidik kepada klien kami didalam pemeriksaan," katanya.
Untuk itu Arfa kembali menegaskan bahwa kerjasama itu tak merugikan keuangan negara, tetapi justru menguntungkan negara dan masyarakat. Hengky, kata Arfa, justru telah membantu masyarakat kota Makasar untuk mendapatkan pelayanan Air bersih.
Diketahui, dalam perkara ini, Hengky ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan Wali Kota Makassar llham Arief Sirajuddin. PT Traya Tirta Makassar pimpinan Hengky adalah pihak swasta yang bekerja sama dengan PDAM dalam proyek rehabilitasi, kelola, dan transfer pengelolaan air. Adapun dugaan kerugian sementara adalah Rp 38,1 miliar rupiah.
Kedua tersangka diduga melanggar pasal melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.