TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-undang 'Contempt of Court' (pelecehan terhadap pengadilan) diminta segera dibuat menyusul adanya perseteruan antara Komisi Yudisial (KY) dengan hakim Sarpin Rizaldi.
Undang-undang 'Contempt of Court' dinilai mampu menyelesaikan problema yang menimpa hakim dengan lembaga negara lain dengan masyarakat umum karena dalam aturan tersebut nantinya akan diatur bagaimana menjaga kewibawaan hakim dan pengadilan.
“Di negara maju seperti Amerika, Hongkong kewibaan pengadilan sangat dijaga. Oleh karenanya mereka mempunyai UU 'Contempt Of Court'. Nah yang terjadi di Indonesia kan sebaliknya kewibaan pengadilan tidak bisa dijaga misalnya orang dengan enaknya teriak-teriak di ruangan sidang dan sebagainya,” ujar Mantan Ketua Umum Prhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan dalam pernyataannya, Jumat(7/8/2015).
Otto menjelaskan dalam UU 'Contempt Of Court' tersebut juga harus memuat mengenai sanksi yang tegas kepada setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pengadilan.
Meski demikian UU ini harus tidak bertentangan dengan UU yang telah ada seperti UU Advokat dan sanksi yang diberikan pun tidak mengedepankan sanksi pidana karena sanksi pidana adalah merupakan ultimum remedium ( upaya terakhir ).
“Penempatan pasal-pasal Contempt of Court itu tidak dimasukan dalam KUHP melaikan harus dibuat UU tersendiri. Kasus yang terjadi antara KY dan Hakim Sarpin ini seharusnya bisa diselesaikan dengan UU Contempt Of Court jika kita sudah memilikinya tidak perlu dengan KUHP,” ujarnya.
Pengajar Pascasarjana Universitas Gajah Mada ini menegaskan penyelesaian masalah hakim Sarpin dan KY yang menggunakan KUHP saat ini menimbulkan berbagai komentar di masyarakat sebagian besar menyatakan bahwa KY telah dikriminalisasi oleh kepolisian.
Akan tetapi, di sisi lain apa yang dilakukan oleh kepolisian tersebut berdasarkan undang-undang juga dibenarkan karena dua komisioner KY dianggap melakukan pencemaran nama baik.
“Ini jelas tidak bisa kita biarkan berlarut-larut sehingga membuat opini yang berkembang di masyarakat manjadi melebar kemana-mana dan keluar dari konteks hukum yang ada di Indonesia. Karena masing-masing pihak mempunyai argumen yang berbeda-beda akibat tidak adanya UU yang menjadi acuan bersama. Bagaimana jika kita melakukan penghinaan terhadap wibawa pengadilan,” katanya.
Kewibawaan pengadilan itu, menurut Otto Hasibuan antara lain menjaga sikap di ruang sidang, menghormati segala keputusan hakim dan tidak menghinanya di muka umum atau di media, tidak menghalang-halangi eksekusi terhadap suatu kasus yang sudah diputuskan oleh pengadilan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengadilan.
Otto mengakui memang ada kekawatiran dari masyarakat jika UU 'Contempt Of Court' ini diberlakukan nantinya bisa membuat hakim bisa semena-mena dalam memutuskan perkara yang ditanganinya.
Untuk itu dalam membuat UU tersebut harus dibuat secara matang dan melibatkan semua pihak penegak hukum dan stakeholder lainnya. Oleh karenanya pengawasan terhadap perilaku hakim pun harus terus ditingkatkan.
"Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini kewibaan pengadilan masih sering dilecehkan oleh masyarakat. Tidak adanya aturan yang tegas ini menyebabkan segala keputusan pengadilan kerap kali tidak dijalankan sebagai mana mestinya bahkan masyarakat cenderung terus mencari celah agar terlepas dari keputusan pengadilan. Tidak sedikit putusan pengadilan yang sudah final masih terus mendapatkan perlawanan karena dianggap menciderai rasa keadilan yang ada," ujar Otto.
UU 'Contempt Of Court' ini lanjut Otto juga diharapkan bisa menjembatani antara masyarakat pencari keadilan dengan hakim-hakim sebagai penentu di persidangan sehingga kewibaan pengadilan sebagai tempat pencari keadilan terakhir bisa menjadi tumpuan bagi masyarakat dan pada akhirnya semua keputusan pengadilan bisa dipatuhi dan dijalankan.