TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Gerindra Elnino Husein Mohi mengaku terkejut dengan penggalan pidato Presiden Joko Widodo yang cukup mengkritik media. Ia mengakui kritik tersebut ada benarnya.
"Tapi kalau kita flash back bahwa Jokowi menang oleh media yang dia kritik itu. Media yang katanya sensasional, tidak membina karakter bangsa, media yang seperti itulah yang kebanyakan mempromosikan Jokowi dan membuat dia menang," kata Nino melalui pesan singkat, Minggu (16/8/2015).
Semestinya, kata Nino, yang mengkritik adalah orang yang dirugikan saat pilpres, bukan orang yang diuntungkan dengan media.
"Jadi agak aneh kalau Pak Jokowi mengkritik media. Apa memang beliau sangat pragmatis, hanya untuk menang saja, setelah itu tidak peduli, atau bagaimana, itu yang kita pertanyakan. Agak aneh kalau beliau mengkritik media yang sebenarnya menguntung beliau sendiri," kata Anggota Komisi I DPR itu.
Menurut Noni, semestinya Jokowi dalam pidatonya itu menyebut beberapa media, bukan media. Sebab, jika menyebut media, maka mewakili seluruhnya. Paadahal masih banyak media-media yang bagus, fair, membangun, mendidik dan bahasanya bagus.
"Jadi dengan pidato, seakan-akan semua media yang salah dan tidak baik. Kalau Pak Jokowi menyebut beberapa media, lain soal," tuturnya.
Ia mengingatkan fungsi media adalah untuk pendidikan. Harus ada kesadaran dari media untuk memperbaiki cara penyajiannya. Nino menduga beberapa media yang dulunya mendukung Jokowi. kemudian mengkritik Jokowi setelah menjabat dengan cara media tersebut. Hal itu berakibat negatif bagi Jokowi. "Sehingga merasa tidak nyaman, tidak diuntungkan, maka muncullah di pidato beliau," tuturnya.
Sebelumnya dalam pidatonya, Jokowi menilai saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan.
"Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif," kata Jokowi yang mengulang kata mengejar rating dibanding memandu publik dua kali.
Menurutnya, masyarakat mudah terjebak pada histeria publik dalam merespon suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.
"Tanpa kesantunan politik, tatakrama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimisme, dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.