TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih atau pengalihan piutang (Cessie) pada BPPN yang menyeret PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) harus segera diselesaikan.
Apabila tidak dituntaskan dikhawatirkan akan mempercepat krisis ekonomi khususnya di sektor keuangan dan perbankan.
"Kalau dilihat secara baik itu mempengaruhi ekonomi dan ini harus diselesaikan supaya bangun dari krisis," ujar Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir dalam pernyataannya, Rabu(26/8/2015).
Mudzakkir berpendapat, perkara yang saat ini tengah diusut Kejaksaan Agung soal hak tagih BPPN segera diluruskan agar kondisi ekonomi negara stabil.
"Sehingga praktik-praktik yang menimpa BPPN harus diluruskan. Ini dampkanya yang akan datang, jadi keadaan ekonomi harus distabilkan," ujarnya.
Kejaksaan Agung sebelumnya memastikan akan memeriksa lagi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung terkait kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih atau pengalihan piutang (Cessie) pada BPPN yang menyeret PT Victoria Securities International Corporation (VSIC).
"Syafruddin bisa diperiksa lagi,"kata Kepala Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejagung, Sarjono Turin.
Sarjono mengatakan sebenarnya Syafruddin sudah pernah diperiksa oleh penyidik di Kejaksaan Agung terkait kasus VSIC. Namun ia tidak merinci kapan Syafruddin diperiksa Tim Satuan Tugas Khusus.
Untuk diketahui, perkara dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang Adyaesta. Victoria Securities International Corporation (VSIC) kemudian membeli aset itu dengan harga Rp 32 miliar.
Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun, VSIC menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp3,1 triliun.
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara, saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
Pengamat Ekonomi Politik dari Center of Budget Analysis, Ucok Sky Khadafi, menilai, jika melihat asal muasal permasalahannya, sejak awal seharusnya pihak Adyaesta yang merasa dirugikan mengadu ke OJK, bukan ke Kejagung karena yang berwenang dalam persoalan yang dituduhkan ini adalah OJK.
“Tapi disinyalir tidak berani mengadu ke OJK karena kan ini penyebabnya cuma Adyaesta yang mau ‘buy back’, VSIC sudah setuju untuk jual, tapi dengan harga Rp2,1 triliun. Sementara Adyaesta mau nya Rp32 miliar. Kemudian disitulah mulai kasus ini terjadi. Intinya, Kejaksaan itu kalau melakukan penyelidikan atau penggeledahan terhadap perbankan atau jasa keuangan, harus kerja sama dengan OJK,” kata dia.