TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo, menanggapi polemik yang terjadi antara Direktur Utama Pelindo II R.J Lino Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli terkait kritikan tak dimanfaatkannya rel kereta di Pelabuhan Tanjung Priok.
"Permasalahan ini muncul akibat pencitraan dari Menko Maritim yang memiliki pemikiran tanpa perencanaan. Infrastruktur tuh nggak bisa bongkar-bongkar sembarangan. Jadi harus ada perhitungan yang jelas," kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (18/9/2015).
Bambang menuturkan, terkait rel kereta api yang tak mungkin digunakan, secara kasat mata kapal bersandar bisa mengangkut 1.500 box per kontainer yang artinya sama dengan 1.500 gerbong. Padahal, menurutnya, pada kereta maksimal 30 gerbong.
"Terus di stasiun belum disiapkan depo-depo kontainer jadi nggak mungkin. Berarti kalau 30 ada 50 rangkaian kereta, satu kapal siapkan 50 rangkaian kereta. Bayangkan lokomotif kita tidak lebih dari 200 lokomotif. Yang bersandar di JICT 10 kapal. Jadi 10 kali 50 apa bisa lebih efisien dari truk ?" tanyanya.
"Jadi apa yang di bilang menteri lulusan California itu harus dikaji mendalam jangan asal-asalan. Harus ada perhitungannya. Mana konsepnya belum disampaikan ke Pelindo. Ini pencitraan nggak boleh lah terjadi di Indonesia. Kita ini sudah susah, infrastrukur paling lambat penyerapanya. Ini gak karuan semua," kata Bambang.
Bambang turut menyoroti perilaku R.J Lino sebagai orang nomor satu Pelindo II. "Karena ini korporasi kita harapkan ada perubahan sikap yang akhirnya membuat kegaduhan," tuturnya.
Akibat kegaduhan di Pelindo II, kata Bambang pemerintah tidak konsentrasi dengan masalah ekonomi yang terus-terusan permasalahkan hal mikro. "Itu (pemerintah) berkutat ke situ terus," kata Politikus Gerindra ini.
Menurutnya, perilaku Lino sangatlah membuat gaduh. Sebab, sebagai pimpinan korporasi ia telah melanggar etika dan harus dirubah.
"Lino yang ngadu yang bukan satu kementeriannya. Dia kan harusnya tanya ke BUMN bukan ke menteri Bappenas, jadi harusnya langsung ke Menteri BUMN. BUMN langsung hubungi pihak terkait tapi itupun nggak boleh diekspos ke publik," ujarnya.
"Etika yang seperti itu harus di ubah kita harapkan pimpinan koorporasi tidak boleh melakukan hal di luar etika," ujarnya.