Oleh: Yohan Wahyu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pemerintah meningkatkan pelayanan penyelenggaraan haji diapresiasi positif oleh publik. Meski demikian, praktik penyelewengan dana haji tetap menghantui seiring persepsi publik bahwa praktik korupsi sudah jamak dan berlangsung lama.
Hal ini terutama disampaikan responden yang pernah naik haji atau membantu pengurusan haji. Sekitar 70 persen dari responden yang pernah naik haji menyatakan puas dengan pelayanan haji, mulai dari pendaftaran, ibadah, hingga pemulangan jemaah haji ke Tanah Air.
Secara keseluruhan, separuh lebih responden mengapresiasi kinerja Kementerian Agama dalam hal penyelenggaraan ibadah haji. Apresiasi ini tidak lepas dari sejumlah langkah yang dilakukan dalam meningkatkan pelayanan bagi jemaah haji.
Dalam peristiwa jatuhnya mesin derek (crane) di kompleks Masjidil Haram pada 11 September lalu, upaya mengurus para korban juga dilakukan pemerintah dengan cepat. Dalam peristiwa ini terdapat 11 anggota jemaah haji asal Indonesia yang meninggal dan 42 orang luka-luka dari total 111 korban tewas dan 331 luka-luka.
Upaya lain dalam meningkatkan pelayanan haji terkait dengan rencana pembatasan ibadah haji. Hal ini diwacanakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelang akhir periode Kabinet Indonesia Bersatu II. Ia mengusulkan pembatasan ibadah haji hanya sekali untuk tiap orang. Kebijakan ini ditujukan untuk memperpendek daftar antrean atau daftar tunggu calon haji yang semakin panjang di sejumlah provinsi di Tanah Air (Kompas,18/9/2014).
Upaya ini diapresiasi 64,2 persen responden. Dengan kebijakan itu, diharapkan pemberangkatan haji diprioritaskan bagi orang yang belum pernah beribadah haji. Mengurangi daftar antrean panjang bagi calon haji menjadi hal yang krusial. Hal ini juga diakui sejumlah responden yang mengalami langsung naik haji.
Dari kelompok responden yang mengaku pernah mengurus keperluan ibadah hajinya, sebanyak 48,1 persen dari mereka mengaku harus menunggu 2 tahun-5 tahun agar bisa berangkat ke tanah suci.
Korupsi dana haji
Apresiasi positif publik terhadap kinerja pemerintah tidak serta-merta menghapus persepsi yang selama ini terbangun. Penyelewengan dana haji tetap menjadi hantu bagi publik dan berpengaruh pada performa institusi penyelenggara ibadah haji. Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2011 menunjukkan, Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti.
KPK menyebut rendahnya angka indeks integritas itu menunjukkan, masih banyak praktik suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik, khususnya terkait pendaftaran perpanjangan izin penyelenggaraan ibadah haji khusus serta perpanjangan izin kelompok bimbingan ibadah haji (Kompas, 29/11/2011).
Sorotan publik juga tertuju pada persidangan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Ia didakwa melakukan empat perbuatan korupsi, yakni penunjukan petugas haji tahun 2010-2013, penggunaan dana operasional menteri tahun anggaran 2011-2014, penyewaan perumahan jemaah haji tahun 2010 dan 2012, serta pemanfaatan sisa kuota haji nasional 2010-2012. Akibatnya, negara dirugikan Rp 27,28 miliar dan 17,96 juta riyal Saudi.
Dalam persidangan, sejumlah anggota Komisi VIII DPR periode 2009-2014 diduga terlibat dalam perkara yang didakwakan kepada Suryadharma.
Informasi dalam dakwaan Suryadharma itu dipandang publik bukan sesuatu yang baru. Hampir 70 persen responden dalam jajak pendapat memandang praktik korupsi dalam penyelenggaraan haji sudah terjadi sejak dulu. Bahkan separuh lebih responden meyakini praktik tersebut juga melibatkan anggota legislatif.