TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik menyelewengkan dana operasional menteri (DOM) hingga kerugian negara mencapai Rp 10 miliar.
"Selama kurun waktu anggaran 2008 sampai dengan 2011, terdakwa telah menggunakan uang DOM secara bertentangan dengan pasal 12 ayat (2) Keputusan Presiden RI Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," kata Jaksa KPK Dody Sukmono saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Lebih lanjut dikatakan Jaksa Dody, Jero melakukan perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain juga korporasi.
"Yaitu sejumlah Rp 8.408.617.149 menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaitu terdakwa selaku pengguna anggaran departemen/Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang seharusnya memerintahkan Pejabat Pembuat Surat Perintah Membayar Langsung (PPSPM-LS)," katanya.
DOM itu diberikan secara langsung kepada terdakwa kemudian menggunakan DOM tersebut untuk keperluan pribadi dan keluarganya tanpa didukung bukti pertanggungjawaban belanja yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Dalam memaparkan dakwaannya Jaksa KPK menyebut, tindakan itu bertentangan dengan Keppres No 42/2002. Yakni terkait Pedoman Pelaksanaan APBN.
Padahal, DOM tersebut seharusnya digunakan sebagai operasional dirinya sebagai menteri, bukan keperluan pribadi dan keluarganya.
"Yaitu memperkaya diri sendiri sejumlah Rp 7.337.528.802 dan keluarga terdakwa sebanyak Rp 1.071.088.347 sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah Rp8.408.617.149," ujar jaksa.
Adapun Alokasi DOM ini disediakan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Untuk alokasi anggaran DOM setiap tahun Jero Wacik menunjuk Pejabat Pelaksana Anggaran pada Satker Sekretariat Jenderal Kemenbudpar.
Sekjen Kemenbudpar saat itu Wardyatmo membentuk tim pengelola kegiatan operasional menteri. Jero menurut Jaksa juga menunjuk Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan (Menteri) pada Biro Umum Setjen Kemenbudpar Luh Ayu Rusminingsih sebagai bendahara dalam mengurus uang DOM.
Luh Ayu Rusminingsih lalu memerintahkan Kasubag TU Menteri Siti Alfiah untuk mengajukan permintaan uang muka DOM sesuai permintaan terdakwa selaku menteri atau untuk keperluan biaya penunjang kegiatan menteri kepada Biro Keuangan.
Menurut Jaksa, pencairan angaran DOM pada bulan-bulan selanjutnya hanya dilampirkan Surat Pernyataan Tangung Jawab Belanja (SPTB) yang ditandatangani PPK disertai bukti-bukti pertangungjawaban penggunaan uang DOM yang telah diterima bulan sebelumnya.
Setelah anggaran dicarikan kemudian Samsa (periode 2008) dan Sunhaji (periode 2009-2011) menyerahkan kepada Siti Alfiah sesuai dengan permintaan uang yang telah diajukan.
Atas permintaan Jero, Luh Ayu Rusminingsih menyerahkan sebagian uang DOM secara langsung kepada dirinya.
"Seharusnya uang DOM tersebut digunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga atau kebutuhan operasional menteri tetapi terdakwa meminta dan menerimanya langsung secara tunai dengan menandatangani kuitansi penerimaan uang sedangkan sisanya dikelola oleh Luh Ayu Rusminingsih untuk operasional kegiatan menteri setiap bulan," kata Jaksa.
Kemudian, setelah menerima DOM diterima, Jero menggunakan untuk keperluan pribadi, seperti upacara adat dan acara keagamaan dan tidak didukung dengan bukti-bukti pertangggungjawaban belanja yang lengkap, valid dan sah.
"Terhadap penggunaan uang DOM yang diterima langsung terdakwa sesuai bukti kuitansi penerimaan uang tidak didukung bukti penggunaannya, Maisaroh pernah menanyakan kepada Luh Ayu Rusminingsih yang merupakan atasan dari Siti Alfiah dan dijawab oleh Luh Ayu 'bahwa itu sudah kebiasaan dari dulu dan bapak menteri memberikannya begitu'. Dengan jawaban seperti itu, Maesaroh tidak bertanya lagi dan tidak berani menanyakan langsung kepada terdakwa selaku menteri," kata Jaksa.
Dalam dakwaan kesatu Jero diancam pidana dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat (1) KUHP.