Bahkan, dalam Rancangan APBN 2016, ada usulan pemerintah untuk kembali menambah PMN sebesar Rp 39 triliun dan hutang BUMN dari Cina Rp 500 triliun, tanpa pengawasan DPR.
Ketiga, dalam proses penganggaran, DPR tidak mempunyai hitungan APBN alternatif sehingga hanya menyetujui usulan pemerintah tanpa melakukan koreksi.
Misalnya, dalam pembahasan APBNP 2015, DPR menyetujui rencana pemerintah untuk penarikan pinjaman luar negeri dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 49,2 triliun yang terdiri dari penarikan pinjaman proyek sebesar Rp 41,9 triliun dan pinjaman program sebesar Rp 7,3 triliun.
Dan koreksi tambahan Rp 50 triliun lagi untuk menutupi desifit 2,2 persen yang meleset menjadi 2,7 persen pada Agustus 2015.
Keempat, secara internal, pengelolaan anggaran di DPR tidak transparan dan akuntabel serta tidak berani menggunakan e-Budgeting.
Akibatnya, banyak anggaran yang tidak wajar terkait dalam mengelola anggaran internal DPR. Di antaranya adanya biaya pemeliharaan rusa yang mencapai miliaran rupiah, pemeliharaan, biaya seminar antikorupsi, serta biaya pengadaan kasur yang sangat mahal.
Kelima, politik anggaran DPR masih mementingkan kebutuhan diri sendiri, bukan orientasi meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini terbukti dengan beberapa kontroversi selama satu tahun ini. Di antaranya DPR berkeras minta dibangun tujuh megaproyek gedung baru senilai Rp2,7 triliun tanpa skala prioritas, minta pengadaan polisi parlemen dengan dalih nama Sistem Keamanan Terpadu dengan anggaran negara ditaksir lebih Rp 800 miliar, minta diadakannya rumah aspirasi serta alokasi dana aspirasi di daerah, minta kenaikan tunjangan gaji hingga minta mobil dinas mewah.
Keenam, secara umum, fungsi pengawasan DPR atas pelaksanaan anggaran pemerintah masih lemah.
Hal ini terlihat dari tidak adanya pengawasan DPR terhadap penyerapan anggaran pemerintah yang rendah, harga BBM yang tidak turun sesuai harga pasar dunia, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pemerintah masih rendah dan minimnya pengawasan proyek infrastuktur yang didanai oleh investor mencapai ribuan triliun rupiah.
Ketujuh, ada potensi DPR makan gaji buta dari rakyat karena banyak anggota DPR yang bolos kerja dan rapat, target legislasi tidak tercapai serta mandulnya pengawasan.
Padahal, anggaran DPR untuk menjalankan fungsi legislasi mencapai Rp 246 miliar, fungsi pengawasan Rp 212 miliar dan pendapatan seorang DPR saat ini mencapai Rp 50 juta rupiah.
Tiga rekomendasi FITRA atas catatan-catatan hitam DPR ini.
Pertama meminta agar DPR intropeksi diri dalam menjalankan kinerja penganggaran dengan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Kedua, DPR diminta memaksimalkan penggunaan anggaran secara benar agar tidak terjadi pemborosan dan makan gaji buta.
"Ketiga, FITRA menantang DPR untuk menggunakan e-budgeting. Hal ini untuk menghindari anggaran-anggaran yang tidak wajar, tidak transparan dan akuntabel," tukas Yenny.