TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peran serta masyarakat lokal harus diperkuat dalam mencegah kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan. Model idealnya harus bersifat institusional.
“Pemerintah dapat memasukkan soal partisipasi warga ini dalam indikator penentuan besaran dana desa. Desa-desa yang berperan aktif harus mendapat insentif tambahan, demikian juga sebaliknya,” kata Sridewanto Edi Pinuji Master of Environmental Management and Development Australian National University.
Peran utama desa di antaranya berupa keaktifan memberikan laporan deteksi dini. Laporan jenis ini terkait dengan pengerahan warga oleh pihak tertentu dengan imbalan tertentu untuk melakukan pembukaan hutan/lahan dengan cara pembakaran.
Yang tak kalah penting, desa juga bisa berperan memberikan laporan atas adanya kahutla di daerahnya sesegera mungkin.
“Pemerintah daerah dan pusat harus menyiapkan sistem pelaporan ini agar mudah dilakukan, mudah diperiksa ulang dan yang paling penting, harus ada respon yang juga cepat,” urainya.
Jika diperlukan, juga ada mekanisme sanksi secara kolektif. “Jadi, jika ada warga desa yang terlibat dalam pembakaran hutan/lahan baik di wilayahnya sendiri atau di luar, hal ini akan mempengaruhi besaran dana desa yang akan dialokasikan untuk desa tersebut,” pungkas pengamat.
Meski demikian, Sridewanto menegaskan, pemerintah harus tetap mendorong upaya preventif dan koersif terhadap pelaku kahutla dari kalangan perusahaan perkebunan yang sengaja melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Upaya preventif itu berupa penerapan aturan pengelolaan perkebunan yang lebih akuntabel. Termasuk menyiapkan embung-embung sebagaimana diinstruksikan Presiden Jokowi.
Upaya koersif mutlak dilakukan namun dengan tetap prinsip keadilan. “Perusahaan yang terkena sanksi harus benar-benar faktual melakukan pembakaran. Jangan sampai yang sekadar kena dampak atau sekadar lalai dihukum sama beratnya,” pungkas dia.