News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

ICW: Setahun Tidak Berprestasi, DPR RI Hanya Ciptakan Polemik

Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan Guru honorer K2 dari berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (15/9/2015). Dalam aksinya, mereka menuntut para guru honorer K2 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Tribunnews.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch menilai Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 minim prestasi.

Dalam masa jabatannya yang genap berusia satu tahun pada 1 Oktober 2015, DPR dinilai lebih banyak menciptakan polemik dibanding bekerja sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR.

"DPR setahun tanpa kerja. Alih-alih menghasilkan prestasi, DPR RI sejauh ini lebih dipenuhi dengan polemik yang konroversial," kata Koordinator Divisi Korupsi ICW Donal Fariz di Jakarta, Rabu (6/10/2015).

Bahkan, lanjut Donal, polemik sudah dimulai sejak para wakil rakyat tersebut dilantik dan menggelar rapat paripurna pertama kalinya. "Mulai dari polemik berebut kursi pimpinan DPR hingga berbagai kontroversi proyek fantastis yang menelan anggaran triliunan rupiah," ujarnya.

Lebih jauh, Donal menyampaikan bahwa kinerja DPR 2014-2019 dapat diukur melalui kerja para wakil rakyat tersebut yang meliputi tiga fungsi DPR, yakni fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Terkait fungsi legislasi, ICW menilai capaian DPR dalam bidang ini merupakan titik lemah kinerja DPR.

Dari 38 rancangan undang-undang yang menjadi prioritas pada 2015, DPR baru berhasil menyelesaikan dan mengesahkan dua undang-undang, yakni UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah. Adapun UU MD3 hanya disahkan DPR 2014-2019 setelah melalui pembahasan oleh DPR periode sebelumnya.

"Padahal anggaran DPR untuk pelaksanaan fungsi legislasi pada rincian APBN 2015 mencapai Rp 246 miliar," kata Donal.

Di samping itu, UU yang dihasilkan DPR 2014-2019 ini tergolong kontroversial. ICW menilai UU yang disahkan tersebut cenderung mencerminkan kepentingan anggota Dewan dibandingkan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat.

Donal lantas mencontohkan UU Pilkada yang menimbulkan tarik ulur antara proses pemilihan kepala daerah secara langsung atau tidak langsung. UU Pilkada juga dinilai mempersulit syarat calon dengan menambah syarat dukungan KTP untuk calon independen dan syarat dukungan partai bagi calon melalui jalur partai politik. "Hal ini dapat berimplikasi pada minimnya kandidat pilkada," kata Donal.

Ia juga menilai bahwa lemahnya kinerja DPR terkait fungsi legislasi ini menunjukkan minimnya kapasitas anggota DPR. Padahal, anggota DPR saat ini sudah didukung dua staf dan lima tenaga ahli. Selain masalah kapasitas anggota Dewan, ICW menilai konflik internal kelembagaan menjadi salah satu faktor yang melemahkan kinerja DPR dalam menghasilkan produk undang-undang.

"DPR sempat vakum, bikin DPR tandingan, berebut kursi dan alat kelengkapan. Ini faktor utama yang membuat fungsi legislasi kedodoran, lemahnya leadership anggota DPR RI juga mempengaruhi," tutur Donal.

Pengawasan tebang pilih

Berkaitan dengan fungsi pengawasan, ICW menilai DPR masih tebang pilih. Pengawasan yang dilakukan DPR pun dinilai masih parsial. "DPR ketat mengawasi KPK tetapi abai dalam mengawasi polisi dan jaksa," kata Donal.

Lemahnya pencapaian DPR juga terjadi pada bidang penganggaran. Menurut ICW, fungsi menyusun anggaran cenderung menjadi alat tawar menawar DPR dengan pemerintah dalam upaya meloloskan anggaran proyek-proyek mercusuar DPR. Misalnya saja usulan dana aspirasi yang diajukan DPR, kenaikan tunjangan anggota DPR dan peningkatan fasilitas, serta proyek pembangunan Gedung DPR dengan alokasi dana Rp 2,7 triliun.

"Padahal harusnya fungsi anggaran ini untuk pengawasan ke mana uang subsidi BBM untuk penyertaan BUMN-BUMN? Kan tidak ada pengawasan lebih lanjut," kata Donal.

Selain itu, ICW mencatat bahwa anggaran internal DPR naik hampir tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir (2010-2015). Dalam APBN 2010, anggaran DPR yang dialokasikan lebih kurang Rp 1,792 triliun. Anggaran ini naik terus hingga menjadi Rp 3,556 triliun pada APBN 2015.

Kenaikan anggaran DPR tidak sampai di situ. Menurut Donal, terdapat penambahan anggaran lebih kurang Rp 1,635 triliun dalam APBN-P 2015 yang tercatat sebagai tambahan belanja hasil pembahasan. Dengan demikian, anggaran DPR dalam APBN-Perubahan 2015 menjadi Rp 5,191 triliun.

Lebih jauh, Donal menyampaikan bahwa pembengkakan anggaran DPR terjadi pada mata anggaran reses. Saat ini, masing-masing anggota DPR menerima dana reses sebesar Rp 150 juta.

"Jika dikalikan dengan jumlah lima kali reses per tahun, maka setiap anggota Dewan setidaknya memegang Rp 750 juta per tahun. Total dana reses selama satu tahun DPR berjalan sebesar Rp 420 miliar," tutur Donal. (Icha Rastika)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini