Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Di tahun pertama masa jabatan anggota DPR Periode 2014-2015, tingkat kehadiran anggota DPR khususnya dalam sidang paripurna masih dapat dikatakan rendah.
Tingkat kehadiran tertinggi di DPR hanyalah mencapai 62 persen, yakni Partai Gerindra dan Partai NasDem.
Indonesia Coruption Watch (ICW) menghimpun daftar kehadiran anggota DPR selama tahun 2015 ini dari berbagai sumber, terutama dari WikiDPR.
Diketahui partai dengan tingkat kehadiran tertinggi ke-3 adalah Partai Keadilan Sosial (PKS), dengan 61 persen.
Selanjutnya Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 59 persen, Partai Demokrat dan Partai Hanura dengan 57 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 56 persen, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 55 persen. Dua partai yang berada di urutan paling bawah adalah Partai Golkar dengan 51 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 49 persen.
Peneliti ICW, Donal Fariz, dalam konferensi pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Rabu (7/10/2015), mengaku menyayangkan hal tersebut.
Pasalnya tunjangan dan fasilitas anggota dewan sudah ditingkatkan tahun 2015 ini, namun hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja dari para anggota dewan.
"Anggaran tahun 2015 ini sebesar Rp 3,556 triliun, angka itu kemudian naik menjadi Rp 5,191 triliun," katanya.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari anggaran tahun 2014 lalu yang hanya sebesar Rp 3,556 triliun.
Ia menyebut setiap tahunnya anggaran untuk DPR terus meningkat.
Pada 2010 DPR hanya dianggarkan Rp 1,792 triliun, dan jumlah yang sama diberikan ke DPR pada tahun berikutnya.
Anggaran untuk anggota dewan naik di tahun 2012, dengan jumlah Rp. 2,016 triliun, lalu 2013 naik menjadi Rp 2,335 triliun, 2014 turun menjadi 2,306 triliun.
Kelebihan-kelebihan yang diterima anggota DPR, tidak berbanding lurus dengan kinerjanya.
Terbukti dari 38 program prioritas DPR, hanya 2 yang bisa disahkan, ditambah dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Di tengah tugas yang menumpuk, anggota DPR justru mendorong revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 30 tahun 2002, yang baru belakangan didorong untuk dimasukan ke program prioritas.
"Kalaupun ada yang sukses, itu juga sifatnya kontroversial. Seperti undang-undang soal Pemerintah Daerah (Pemda) yang menyulitkan calon independen, serta undang-undang MD3," tandasnya.