TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla genap berusia satu tahun pada 20 Oktober 2015.
Jumat (9/10/2015) lalu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dalam pernyataannya menjelaskan bahwa presiden akan mengevaluasi kinerja para menteri di Kabinet Kerja seiring berjalannya satu tahun pemerintahan.
Pernyataan Seskab yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu bersambut dengan pemberitaan media, memicu spekulasi reshuffle jilid II yang akan dilakukan tepat pada usia satu tahun pemerintahan Jokowi.
Merespon wacana reshuffle jilid II itu, Sekretaris Fraksi NasDem DPR, Syarif Abdullah Alkadrie menyebut penilaian kinerja kabinet masih bersifat fluktuatif di masing-masing kementerian.
Di satu sisi, ada menteri yang sudah eksis, tapi ada juga yang masih adaptasi, terutama kementerian yang habis mengalami perombakan Agustus lalu.
"Secara keseluruhan, apa yang dilakukan kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK selama satu tahun ini relatif positif dalam kinerja," ungkap Syarif saat ditemui di Gedung Nusatara I, Senayan, Senin (12/10/2015).
Politikus Partai NasDem ini menjelaskan bahwa kurun waktu 8 sampai 9 bulan merupakan masa konsolidasi bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Reshuffle jilid I pada Agustus lalu, menurut Syarif merupakan bagian dari upaya presiden Jokowi mencari pembantu yang efektif dalam menggerakkan pemerintahan.
"Jadi, langkah yang diambil oleh presiden tersebut dalam konteks memperkuat konsolidasi pemerintahannya. Tentunya kita harapkan ke depannya agar lebih baik," ujarnya.
Anggota Komisi II DPR ini berpendapat jika sekiranya masih ada kekurangan dalam kabinet kerja, hendaknya presiden tak buru-buru mereshuffle kembali kabinet kerja.
Syarif memberikan gambaran saat ini di mana masih ada perlambatan ekonomi, namun perlahan nilai tukar rupiah mulai menguat. Perekonomian juga mulai bangkit, dan program-program pemerintah mulai berjalan.
Hanya saja, menurut Syarif, yang diperlukan Presiden Jokowi saat ini adalah mempersolid jajaran kabinet kerja. Dalam hematnya, masih ada personel menteri yang senang mencari popularitas, saling lempar statemen antara yang satu dengan yang lain.
Syarif mencontohkan kasus Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli yang banyak mengeluarkan stetemen yang bisa menggaduhkan jalannya pemerintahan.
Anggota DPR dari Dapil Kalimantan Barat ini menilai, kalau kebiasaan gaduh seperti itu terus berlanjut, bisa menyebabkan jalannya pemerintah tidak kondusif. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan persepsi yang negatif dari publik terhadap pemerintah.
"Lebih baik, jika setiap ada perbedaan diselesaikan di rapat-rapat kabinet. Jangan dipublikasikan ke media," tuturnya.
Saat ditanyakan sinyalemen terkait tendensi atau upaya politis di balik wacana reshuffle jilid II tersebut, Syarif tak banyak mengetahui motifnya. Baginya, yang jelas posisi Partai NasDem tidak bersifat pragmatis dalam mendukung pemerintah Jokowi-JK.
"Dari awal kita (Partai NasDem) tidak berpikir pragmatis untuk mengharapkan posisi tertentu dalam pemerintahan ini, karena tidak menggunakan komitmen yang mementingkan kelompok tetapi lebih kepada komitmen untuk kepentingan bangsa," tuturnya.
Jikapun nanti ada reshuffle, Syarif meminta agar wacana reshuffle itu tak terlalu digembar-gemborkan ke publik, hingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Karena menteri itu adalah pembantunya (presiden), jadi seharusnya tidak perlu ada jilid I atau II seterusnya. Jadi kalau menurut presiden pembantunya kurang layak, silakan saja diganti. Maka Reshuffle tidak perlu diagendakan dan partai politik juga jangan berebutan meminta posisi menteri," katanya.
Menanggapi spekulasi terkait bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) di pemerintahan yang akan mendapat posisi menteri, Syarif memandang apa pun latar belakangnya, reshuffle harus dilakukan guna menunjang kinerja pemerintahan.
Dalam hal ini, Partai NasDem tak pernah mempersoalkan siapa pun yang dapat atau kehilangan kursi menteri. Namun, sekali lagi Syarif mengingatkan agar partai politik tidak mengintervensi hak prerogratif presiden.
"Janganlah partai politik juga ikut-ikutan ngoyo, minta-minta jatah menteri. Saya pikir Pak Presiden lebih paham, siapa yang akan dia posisikan sebagai menterinya," tandasnya.
Partai NasDem, terang Syarif, sejak awal mendukung pencalonan Jokowi-JK dan hingga saat ini tak pernah berseberangan dengan pemerintahan, terutama dalam memilih pembantu-pembantunya.
Sebagai contoh, Syarif menjelaskan saat reshuffle jilid I Agustus lalu, di mana salah satu kader Partai NasDem, Tedjo Edhy Purdijatno direshuffle dari kursi Menko Polhukam, Partai NasDem sama sekali tak mempermasalahkan keputusan itu. NasDem percaya bahwa presiden melakukan itu demi kepentingan kinerja pemerintahan.
Syarif mengingatkan bahwa sejak awal, hubungan yang dibangun antara pemerintah Jokowi - JK dan Partai NasDem adalah komitmen bersama untuk membangun bangsa.
"Koalisi yang dibangun antara partai NasDem dengan pemerintah Jokowi - JK adalah koalisi tanpa syarat," katanya.