TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro meminta semua pihak mempertimbangkan kenaikan tarif KRL Commuter Line.
Rencananya, tarif KRL commuter line naik 50 persen pada awal bulan November nanti.
"Ada sejumlah alasan saya sampaikan tidak logis terkesan mengada-ada untuk menaikkan tarif KRL," kata Nizar melalui pesan singkat, Selasa (20/10/2015).
Menurut data yang dimilikinya antara tahun 2014 dan tahun 2015 jumlah Public service Obligation (PSO) yang dibayarkan pemerintah ada kenaikan sebesar Rp 341 Miliar.
Semestinya dengan kenaikan PSO sebesar Rp 341 Miliar itu ada peningkatan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.
"Bukan hanya menaikkan tarif KRL dengan merubah tarif KRL yang bisa mempengaruhi besarnya subsidi pemerintah ini logika yang harus dipakai KRL," ujarnya.
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menganggarkan PSO sebesar Rp 858.120.344.409 untuk tarif kereta listrik (KRL) pada tahun 2015 .
Namun di satu sisi Ditjen Perkeretaapian telah melakukan evaluasi berdasarkan Permenhub Nomor PM.28 Tahun 2012 tentang Pedoman Perhitungan dan Penetapan Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Api dan Permenhub Nomor PM.56 Tahun 2013 tentang Komponen Biaya yang Dapat Dipergunakan.
"Sehingga kalau memang besaran subsidinya yang mau dikurangi dari RP 3.000 menjadi RP 2.000 karena tarifnya sebesar Rp 5.000 maka perlu dipertanyakan apakah besaran subsidi untuk tahun 2016 turun? Padahal menurut data yang di ajukan ke komisi V direktorat jenderal perkeretaapian mendapat kan PSO yang lebih besar ketimbang tahun 2015," kata Politikus Gerindra itu.
Meskipun, di satu sisi PSO setiap tahun naik namun tarif KRL berdasarkan Peraturan Menteri perhubungan juga dinaikkan.
Ia pun mengutip data Laporan hasil pemeriksaan BPK tahun 2014 denga pemeriksaan tujuan tertentu.
Bahwa, PT KAI tahun 2014 ada 24 temuan dengan 62 rekomendasi senilai Rp34.628.000.000 dan belum ditindaklanjuti dengan penyetoran aset negara.
"Sedangkan perhitungan subsidi /PSO tahun 2013 per 31 desember 2013 untuk PT KAI mendapat kan catatan. BPK tidak melakukan koreksi karena perhitungan PSO PT KAI tidak dapat diyakini kewajarannya," imbuhnya.
Sebelumnya dijelaskan Manager Communication PT KCJ Eva Chairunisa bahwa perubahan itu disebabkan kontrak subsidi public service obligation (PSO) dari pemerintah kepada PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) habis pada 18 November.
Pada tahun 2015 ini, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menganggarkan PSO sebesar Rp 858.120.344.409 untuk tarif KRL.
"Nah, sekarang kontrak (subsidi) PSO itu akan habis pada bulan November. Namun, meski akan habis, pemerintah tetap ingin meringankan penumpang. Jadi, komposisinya diatur ulang dengan mengurangi potongan PSO tanpa mengutak-atik tarif dasar operator," kata Eva, Senin (19/10/2015) kemarin.
Eva menjelaskan, potongan PSO yang biasanya Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama akan dikurangi menjadi Rp 2.000 sehingga penumpang yang tadinya membayar Rp 2.000 harus membayar Rp 3.000.