TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik KPK menangkap pengusaha Setiady Jusuf saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa lalu.
Setiady diduga penyuap 177.700 Dolar Singapura kepada anggota Komisi VII DPR RI Dewie Yasin Limpo.
Suap tersebut untuk memuluskan pembahasan anggaran pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai Papua tahun anggaran 2016.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tribun, Setiady adalah direktur utama di PT Abdi Bumi Cendrawasih. PT Abdi adalah perusahaan tersebut bergerak dalam bidang general contractor dan berkantor di Nabire, Papua.
Tidak banyak yang bisa diketahui dari latar belakang dan proyek-proyek yang telah digarap perusahaan tersebut.
Perusahaan itu sendiri terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia.
Sekadar informasi, KPK menangkap Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Deiyai Iranius, Setiady dan Rinelda Bandaso. Rinelda adalah asisten pribadi Dewi.
Mereka ditangkap pukul 17.45 WIB saat transaksi 177.700 Dolar Singapura dalam bentuk pecahan uang 10.000, 1.000, dan 50 Dolar Singapura.
Tim KPK kemudian menangkap Dewie dan Staf Ahli Anggota DPR RI Bambang Wahyu Hadi di Bandara Soekarno-Hatta pukul 19.00 WIB.
Dari hasil pemeriksaan dan gelar perkara yang dilakukan, penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan kelimanya sebagai tersangka.
Iranius dan Setiady diduga bersama-sama memberi hadiah atau janji kepada Dewie, Bambang dan Rinelda terkait usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan Tahun Anggaran 2016 untuk Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.
Iranius dan Setiady yang diduga sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
Sementara Dewi, Rinelda dan Bambang yang diduga sebagai penerima, disangka melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.