TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa saja menunda pemberian jatah kursi kabinet kepada Partai Amanat Nasional (PAN) dalam agenda reshuffle kabinet.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, mengatakan sikap presiden itu diambil bila memandang perlu untuk menguji keseriusan, konsistensi, dan komitmen partai tersebut dalam barisan pendukung Pemerintah.
Menurut Said, sudah menjadi pendapat umum bahwa pilihan partai politik bergabung dengan Pemerintah adalah dalam rangka memperoleh jatah kursi di kabinet.
Sekalipun alasan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi seringkali partai politik malu-malu untuk mengakui tujuannya itu.
Pada bagian lain, ada juga partai politik yang pada saat awal menyatakan dukungan kepada Pemerintah, tetapi di tengah jalan justru mengambil sikap politik yang bertentangan dengan Pemerintah.
Nah, pada kasus PAN, partai itu kan menyatakan bergabung dengan Pemerintah tanpa mengajukan syarat mendapatkan jatah kursi di Kabinet.
"Dalam konteks itu, Presiden sesungguhnya tidak memiliki beban apapun jika tidak mengakomodir kader PAN dalam agenda reshuffle kabinet. Teorinya kira-kira begitu," jelas Said kepada Tribunnews.com, Selasa (3/11/2015).
Oleh sebab itu, tegas dia kembali, dalam hal masih ingin menguji kesetiaan PAN terhadap dirinya, maka bisa saja dalam agenda reshuffle nanti Presiden belum memasukkan dulu kader PAN dalam kabinetnya.
"Dari situ nantinya Presiden bisa menilai, apakah PAN akan tetap menyatakan bergabung dengan Pemerintah atau justru memilih untuk balik kanan," ujar pengamat politik ini.
Artinya, agenda reshuffle sebetulnya bisa dimanfaatkan oleh Presiden sebagai ajang untuk menguji kesetiaan partai-partai politik pendukungnya.
"Mana partai yang bergabung semata karena alasan ingin mendapatkan kursi kabinet, mana partai yang memang sungguh-sungguh ingin membantu Presiden tanpa syarat, semuanya akan bisa dilihat nantinya," tandasnya.