TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad menyesalkan pengangkatan guru honorer tertunda.
seperti diketahui pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi menegaskan bahwa pemerintah dan DPR sudah menyepakati pengangkatan status guru honorer Kategori 2 menjadi PNS pada rapat bersama Komisi II DPR 15 September 2015 lalu.
Pengangkatan tersebut akan dilakukan secara berkala selama 4 tahun dari tahun 2016-2019 dengan biaya pengangkatan sebesar Rp.188,355 miliar dan total anggaran yang mencapai Rp 34 triliun.
Sayangnya, anggaran ini tidak terlihat pada APBN 2016 yang baru saja disahkan sehingga mengancam terwujudnya janji pemerintah tersebut.
“Hal ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan terjadinya ketidakadilan perlakuan negara terhadap mereka yang mengemban profesi guru," kata Farouk Muhammad dalam siaran persnya, Senin (16/11/2015).
Dikatakannya, satu pihak ada yang memperoleh penghasilan dan kesejahteraan yang relatif baik tanpa mempersoalkan dedikasi dan ketulusan pengabdiannya, tetapi di lain pihak, ada yang mengabdi dengan tulus walau hampir tidak mendapat penghasilan dan kesejahteraan yang layak dari negara.
"Guru honorer telah berperan secara tekun untuk mendidik tunas bangsa, namun amat disayangkan bahwa penghargaan negara kepada mereka sangat minim, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi” ucapnya.
Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menambahkan, DPD RI sangat menyesalkan bahwa DPR dan pemerintahan Jokowi-JK tidak memasukkan anggaran pengangkatan guru ke dalam APBN 2016.
Patut dipertanyakan, mengapa hal pengangkatan guru honorer bisa dengan mudah dikesampingkan, sedangkan anggaran-anggaran lain yang mungkin kalah krusial dapat dimasukkan.
Inilah mengapa hak budget DPD menjadi penting agar APBN dapat lebih baik teranggarkan, apalagi dalam kasus ini, banyak guru honorer bekerja di daerah.
DPD RI juga melihat pengangkatan guru honorer menjadi mendesak karena tidak saja terkait dengan rasio guru-murid tapi juga dengan persebaran guru yang merata di seluruh pelosok Indonesia, seperti di daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan.
Kesejahteraan guru dan jaminan hari tua bagi mereka menjadi krusial karena tidak mungkin seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan mendidik siswa bila mereka masih harus memikirkan bagaimana bertahan hidup.
“masalah pengangkatan guru honorer juga terkait dengan peningkatan kualitas mutu guru sebab pengangkatan akan berimbas pada pemberian tunjangan profesi yang dapat membantu mereka untuk meningkatkan kapasitas pedagogi dan keahlian lainnya," katanya.
Lanjut dia, meskipun demikian, memang perlu digarisbawahi bahwa penambahan jumlah kuantitas guru perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap memperhatikan standar kualitas guru secara merata dan jangan sampai mengorbankan kualitas rekrutmen.
Guru dikatakannya ujung tombak revolusi mental, sebab itu bila pemerintah ingin menyukseskan Nawacita, terutama Nawacita Kelima, maka sudah saatnya pemerintah dan instansi-instansi terkait memberikan kebijakan afirmasi terhadap masalah kesejahteraan guru.
DPD masih menaruh harapan agar pemerintah dalam jangka pendek bisa segera merespon hal ini, dengan paling tidak memproses pengangkatan mereka yang yang telah lulus ujian.
Selain itu, DPD mendesak agar paling tidak secara bertahap, pemerintah dapat menganggarkan pengangkatan guru honorer dalam APBN-P dengan dukungan penuh DPR tanpa alasan lain.