Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa DPR tak sepakat dengan upaya pemerintah memasukkan injeksi modal senilai 3 miliar dollar AS dalam APBN 2016. Padahal, injeksi modal itu sangat penting bagi perusahaan milik negara untuk mendapat saham Freeport sehingga BUMN menjadi kuat.
Sayangnya, pemerintah dan politisi cenderung mendivestasikan saham Freeport melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal yang tak mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan politisi dan pemodal yang memiliki uang banyak dan memiliki akses ke bank untuk membeli saham Freeport.
Bisnis orang kuat
Tambang Grasberg adalah tambang paling menguntungkan di dunia. Pada akhir 2010, Freeport menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS untuk Freeport McMoRan.
Tambang itu juga menghasilkan laba kotor sebesar 4,17 miliar dollar AS pada akhir 2010. Cadangan tembaga mencapai 33,7 juta pound dan emas mencapai 33,7 juta ons, selain sekitar 230.000 ton ore milled per hari.
Saking kayanya tambang Grasberg, setiap orang ingin mendapat keuntungan dari Freeport. Tak banyak publik di Tanah Air yang paham bahwa banyak juga pebisnis lokal yang turut mendapat keuntungan dari operasi tambang Grasberg.
Perusahaan-perusahaan lokal ini tak terjun langsung dalam operasi produksi, tetapi mereka hanya menyediakan jasa, berupa penyedia jasa pelabuhan untuk bongkar-muat bahan tambang, jasa pemasok BBM, sampai pada jasa pemasok katering untuk ribuan karyawan Freeport Indonesia.
Itulah sebabnya mengapa politisi Senayan meminta jatah 49 persen saham PLTU Urumuka.
PT Ancora International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate (bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281 miliar dari Freeport.
PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliartahun 2011.
Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter. Sementara Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.
Semua perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini. Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai tawar besar dengan pemerintah.
Pola kerja sama Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang memimpin Republik.
Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dekat akses kekuasaan.