TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Pansus Pelindo II Sukur Nababan menduga adanya permainan dalam kontrak kerja sama Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH) sehingga nilainya menjadi rendah. Hal itu pun berdampak pada makin besarnya potensi kerugian negara.
"Jelas kontrak itu diteken sepihak tanpa persetujuan pemerintah padahal disyaratkan UU," kata Sukur, Minggu (22/11/2015).
Sukur mengatakan dugaan itu mencuat saat Pansus memanggil konsultan keuangan yang dipakai Pelindo II untuk membuat evaluasi dan penawaran JICT ke HPH.
Deutsche Bank (DB) mengaku kepada Pansus bahwa HPH adalah klien lama mereka. Kemudian, ditemukan adanya komponen biaya operasional. Asumsi biaya operasional itu artinya harus ada sejarah opersional JICT selama 10 tahun. Dari dokumen, diketahui komponen biaya operasional JICT itu di kisaran 55-63 persen.
"Namun di dalam evaluasi oleh DB, komponen itu naik jadi 78 persen. Kenapa dinaikkan? Agar untung perusahaan menjadi rendah. Tujuan akhirnya agar nilai saham rendah, sehingga HPH membeli JICT dengan harga murah. Itu financial engineering," imbuhnya.
Politikus PDIP itu juga menemukan metode kedua oleh DB untuk semakin merendahkan nilai JICT. Metodenya adalah dengan membuat debt performa, yakni seakan-akan JICT akan memiliki utang masa depan. Tujuannya agar nilai saham makin jatuh lagi.
"Jadi sudah dirampok di asumsi biaya operaisonal, dirampok lagi di debt performa. Mereka buat seolah-olah utang JICT diprediksi 30 persen di masa depan," tuturnya.
Padahal JICT, kata Sukur, bila dilihat dari sejarah sejak 1999 sampai 2014, tidak pernah memiliki utang. Akibat dugaan permainan itu, Pansus menemukan bahwa HPH hanya menyetor 215 juta dolar AS untuk nilai saham pemerintah di JICT sebesar 49 persen
Belakangan ketika Pansus memanggil pihak DB, kata Sukur, ketahuan bahwa Pelindo II baru menjadi klien mereka Juli 2013. Tugas DB adalah membuat valuasi dan penawaran JICT.
"Sementara dia (DB) mengaku HPH itu klien lama. Kenal pelindo sejak Juli 2013. Dia ditugaskan Pelindo untuk bikin valuasi JICT untuk ditawarkan ke HPH. Berarti dia (DB) kerja buat siapa? HPH klien lama dia. Coba saja Anda analisa sendiri," tuturnya.
Hal itu, tutur Sukur, membuat salah satu komisaris Pelindo II curiga saat evaluasi DB dikeluarkan. Komisaris tersebut kemudian memanggil Financial Research Institute (FRI) untuk melakukan penghitungan ulang. Akhirnya keluarlah hasil bahwa harga USD215 juta itu hanya setara 25 persen nilai saham JICT, bukan 49 persen. "Ngamuk lah direksi pelindo dan FRI dipecat," ujarnya.