TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi Ketua DPR RI Setya Novanto menawarkan jasanya mengurus kontrak Freeport dengan imbalan saham bisa dikategorikan sebagai korupsi.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, menyebut Ketua DPR telah menyalahgunakan wewenangnya.
Saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (30/11/2015), Agus Sarwono mengatakan penyalahgunaan wewenang diatur dalam pasal 12e Undang Undang nomor 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).
"Kasus Ketua DPR, Setya Novanto sangat kuat dugaannya melakukan penyalahgunaan wewenang dan bisa dibawa ke jalur hukum dengan syarat membawa rekaman dan transkripnya," katanya.
Padal tersebut mengatur soal pemerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dengan unsur-unsur, yaitu (1) penyelenggara negara atau pegawai negeri dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain; (2) secara sah melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya; (3) memaksa seseorang.
Dugaan pemerasan dengan menjual nama Presiden Joko Widodo oleh Setya Novanto itu, pertamakali dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said. Ia juga yang melaporkan Ketua DPR ke Mahkah Kehormatan Dewan (MKD), dengan membawa bukti rekaman.
Dalam proses penegakan hukum, penyadapan bisa dilakukan dengan sebelumnya mengantongi izin dari Pengadilan Negri setempat, kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa melakukannya tanpa izin.
Rekaman yang diserahkan Sudirman Said itu belum jelas asal-usulnya. Menurut Agus Sarwono bila memang betul di rekaman tersebut adalah suara Setya Novanto, maka hal itu bisa dijadikan alat bukti.
"Rekaman serta transkrip merupakan bukti awal bagi penegak hukum untuk menelesuri lebih jauh siapa-siapa yang terlibat dengan perannya masing-masing, siapa yang diuntungkan, dalam konteks apa mereka berbicara demikian," tandasnya.