Bayu menjelaskan setidaknya ada dua alasan yang dapat diajukan.
Pertama, sidang tidak berhasil menjangkau masalah baik/buruknya manusia sebagai manusia.
Sidang tidak masuk dalam perkara inti yang seharusnya menjadi pusat perhatiannya, yaitu dugaan percobaan korupsi.
Kedua, sidang tidak bersedia terbuka terhadap wilayah publik.
Maksudnya bukan hanya sidang terakhir ini berlangsung tertutup, melainkan sidang sejak awal terlalu sibuk dengan akrobat pasal-pasal hukum demi kepentingan politik tertentu.
Menurut Bayu, luapan kemarahan rakyat itu mengungkap satu hal, yaitu etika adalah bidang khusus, tak terbandingkan.
Ia bukanlah suatu bidang yang dapat ditempatkan secara setara dengan bidang lain, bahkan dengan hukum sekali pun.
Begitu hukum atau bidang lain meredamnya, etika berontak.
“Etika filosofis of (philosophical ethics) bersentuhan pertama-tama dengan baik/buruknya manusia sebagai manusia. Penekanan pada “sebagai manusia” itu pantas mendapat perhatian,” ucapnya.
Bayu menjelaskan bahasa Jawa memiliki kosa kata yang bagus untuk menggambarkan perilaku etis, yaitu pinter dan minteri.
Pinter menunjuk keterampilan dalam bidang non-etis, sedangkan minteri menunjuk bidang etika dalam arti buruk membohongi, memperdaya.
Demikianlah dalam etika, katanya, kita berjumpa dengan dimensi kemanusiaan yang paling dalam.
“Etika tidak mengukur manusia berdasarkan atribut-atribut sekundernya, melainkan berdasarkan mutunya sebagai manusia,” katanya.