TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiqurahman Ruki tampak emosional saat menjelaskan kesalahpahaman soal pandangan pimpinan KPK mengenai revisi undang-undang KPK.
Ruki menyesalkan pemberitaan yang menyatakan seolah-olah pimpinan KPK tidak kompak menolak revisi tersebut.
"Saya sangat sedih selalu terjadi misleading dan misinformation. Dan ketika itu terjadi kesalahan, semua ditudingkan ke saya," ujar Ruki di Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Ruki mengatakan, dia diberitakan menjadi satu-satunya pimpinan KPK yang menyetujui UU KPK direvisi.
Tudingan seperti itu, kata Ruki, telah memojokkan dirinya. Sehingga, Ruku merasa perlu mengklarifikasi kesalahpahaman itu.
"Saya sebenarnya tidak pernah mau bicara, tidak mau mengklaim. Tapi karena saya sudah dipojokkan sama sekali, jadi saya buka bahwa semua itu tidak benar," kata Ruki.
Ruki mengatakan, Presiden Joko Widodo pernah meminta pendapat KPK mengenai revisi Undang-Undang KPK. Dalam balasannya, kata Ruki, lima pimpinan sepakat untuk menolak revisi.
"Surat ini ditandatangan berlima. Apa jawaban kami? Pertama, pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju dengan DPR untuk revisi. Jelas kami tidak setuju," kata Ruki.
Ruki mengatakan, pimpinan KPK menyarankan agar DPR mendahulukan revisi undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan harmonisasi dengan KUHP dan KUHAP.
Menurut Ruki, surat balasan itu telah dibahas bersama dengan pimpinan lainnya.
"Saya ingin klarifikasi berbagai tuduhan. Semua dibahas lima pimpinan dibantu tim hukum," kata Ruki.
Ruki mengatakan, pimpinan KPK sepakat revisi akan diterima jika poin-poin yang direvisi tidak melemahkan KPK.
Sementara itu, kata Ruki, draf revisi yang selama ini beredar menunjukkan upaya pelemahan itu.
Saat ini, pemerintah dan DPR RI sepakat meneruskan revisi UU KPK dengan usulan DPR.
Bahkan, revisi UU KPK didorong masuk ke Program Legislasi Nasional dan proses pembahasannya dipercepat.
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita