TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di perusahaan yang bergerak di industri kehutanan semakin kuat menyusul keluarnya pembekuan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) beberapa waktu lalu.
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Aris Yunanto menyatakan dampak PHK massal itu akan berbahaya sekali jika tidak ditangani secara serius dan simultan.
“Jika dampak PHK nantinya sudah sampai pada tindakan destruktif, merusak pabrik dan fasilitas kerja, wah itu sangat berbahaya,” ujar Aris di Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Dia mengatakan pemerintah dan semua pihak sebaiknya mengantisipasi dampak PHK massal tersebut dan memikirkan langkah agar para tenaga kerja yang selama ini hidup dari industri kehutanan bisa tetap mendapatkan penghasilan untuk keluarganya, selain memikirkan pencegahan dari tindakan yang merusak iklim ekonomi.
Pengusaha, kata Aris, sebaiknya melakukan inovasi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
"Pemerintah juga harus membantu pengusaha untuk melakukan perubahan dan eksistensi usahanya. Karena kontribusi dari para pengusaha kehutanan sangat tinggi bagi ekonomi masyarakat," katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, mengatakan pembekuan izin usaha pengolahan industri dikhawatirkan akan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta pemutusan kontrak kerja dengan supplier.
"Kami khawatir ini akan berdampak pada PHK serta pemutusan kontrak kerjasama dengan kontraktor dan supplier. Saat ini terdapat sekitar 1 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terserap dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri," ujar dia dalam diskusi Forum Wartawan Industri tentang proyeksi pertumbuhan industri pulp & paper di Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu.
Situasi tersebut juga dinilai bisa membuat keresahan di kalangan karyawan dan masyarakat sebagai tenaga kerja langsung maupun tidak langsung.
Hal ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial di daerah yang terkena pembekuan dan pencabutan izin.
Selain itu, Purwadi memprediksi ada penurunan penerimaan devisa hingga beberapa tahun kedepan. Bahkan, penurunan devisanya dapat mencapai USD 5,6 miliar.
Sementara itu, Samsul, seorang warga Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, mengaku sangat kesal dengan peristiwa kebakaran yang terjadi setiap tahun di wilayahnya.
“Soal kabut asap itu jelas kami kesal,” katanya.
Namun dengan adanya sanksi terhadap perusahaan oleh pemerintah terkait kebakaran lahan, kata Samsul, mulai terasa dampaknya bagi masyarakat di Tulungselapan, termasuk dirinya.
“Pasar sekarang sepi pembeli, termasuk pula yang menyewa mobil atau speedbord sedikit sekali penumpangnya,” kata Samsul.
Ini dikarenakan sejumlah perusahaan tidak lagi beroperasi, sehingga karyawan dari berbagai perusahaan yang biasanya berbelanja atau menggunakan jasa angkutan sudah tidak ada lagi.
Di sisi lain, jika perusahaan tidak beroperasi lagi, banyak warga di dusunnya maupun di daerah lain di Kabupaten OKI kehilangan pekerjaan.
“Kalau sudah banyak yang menganggur, gawe lamo yakni merambah hutan pasti marak lagi,” katanya.
Menurut Samsul guna mencegah kebakaran tidak terulang, dia setuju sekali pemerintah harus tegas terhadap perusahaan yang lalai atau tidak mampu mencegah kebakaran.