TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tampaknya tidak mengesahkan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Djan Faridz.
Dalam Surat Nomor AHU.4.AH.11.01-53 tanggal 31 Desember 2015 yang ditandatangani Direktur Tata Negara Ditjen AHU Kemenkumham, Tehna Bama Sitepu yang ditujukan kepada Djan Faridz dan A Dimyati Natakusumah tidak terdapat pengesahan kepengurusan PPP.
Surat tersebut berisi lima poin, salah satunya mengenai adanya laporan keraguan keabsahan dan pemalsuan dokumen Muktamar VIII di Jakarta pada 30 Oktober – 2 November 2014.
“Sehubungan dengan adanya laporan pemalsuan dokumen Muktamar VIII di Jakarta pada 30 Oktober-2 November 2014, kami mohon data otentik pendukung antara lain; daftar hadir Muktamar, berita acara keputusan Muktamar, notula Muktamar dan dokumentasi pelaksanaan Muktamar,” kata Tehna dalam suratnya.
Selain itu, terdapat dua akta notaris yang bertentangan, yakni notaries Tedy Anwar Nomor 17 tanggal 7 November 2014 dan akta notaries Lies Herminingsih Nomor 39 tanggal 30 Oktober 2015.
Kemenkumham juga menerima Surat DPP PPP Nomor: Istimewa/01/PPP/XII/2015 tanggal 22 Desember 2015 yang ditandatangani oleh Yul Chaidir, Norhasanah, Tamam Achda, Ahmad Bay Lubis, Heriyadi, dan Muzakir Rida yang pada pokoknya menjelaskan adanya dua akta notaris yang bertentangan.
Terkait dengan putusan kasasi MA dalam perkara perdata PPP Nomor : 601K/PDT.SUS-Parpol/2015, yang memenangkan Djan Faridz, dinyatakan bahwa Kemenkumham bukan para pihak yang bersengketa sehingga tidak terikat.
“Kementerian Hukum dan HAM tidak menjadi pihak dalam perkara (perdata) tersebut,” tutup Tehna.
Terkait itu, Ketua DPP PPP Hasan Husaeri Lubis menyatakan, dengan adanya surat tersebut menegaskan bahwa SK Menkumham yang mengesahkan hasil Muktamar Surabaya belum dicabut sehingga masih tercatat dalam lembar Negara.
Terkait keharusan kubu Djan Faridz menyerahkan daftar hadir asli peserta Muktamar VIII, dirinya pesimistis. Sebab, lanjut dia, hasil verifikasi menunjukkan bahwa peserta Muktamar Jakarta diduga banyak pemalsuan dan tidak quorum.
“Yang sangat kelihatan tidak quorum adalah utusan DPW. Sejumlah DPC waktu itu juga banyak yang tidak hadir dan diganti orang lain, yang hal itu bertentangan dengan AD/ART,” tegas Hasan Husaeri.