Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yorrys Raweyai terpaksa meninggalkan 'kapal' Partai Golkar yang dinahkodai Agung Laksono karena kecewa dengan kepemimpinannya.
Ia kecewa berat dengan Agung karena kepemimpinnya tidak lebih baik dari Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie atau Ical, setelah kebersamaan setahun terakhir.
"Ternyata, saat kepemimpinan Agung Laksono tidak lebih baik dari Ical. Baik dalam mengelola partai, ide yang dibangun, hingga yang paling utama saat Pilkada serentak kemarin. Makanya saya keluar," kata Yorrys saat dihubungi Sabtu (2/1/2016).
Yorrys membantah meninggalkan Agung karena mendapatkan 'bargaining politik' dari Ical.
Ia pun membantah meninggal Agung lantaran kubu Ical saat ini berada di 'atas angin' pasca-Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Ical dan Menkumham mencabut Surat Keputusan (SK) kepengurusan kubu Agung.
Ditegaskannya, dirinya sudah kecewa dengan kepemimpinan Agung sebelum adanya dua putusan itu.
Ia juga membantah perubahan sikap dan haluannya ini diartikan pindah mendukung Ical.
Ia meyakinkan dirinya saat ini bukan sebagai pendukung Ical, tapi sebagai pihak atau tim penyelamat Partai Golkar.
"Saya berjuang untuk tim penyelamatan partai, tidak pindah ke Ical. Saya hanya ingin partai ini diselamatkan," katanya.
Yorrys menceritakan, mulanya dirinya dan Agung memang kompak 'memerangi' Ical karena menilai proses Munas Partai Golkar di Bali pada 31 November 2014 yang dimenangkan Ical sebagai ketua umum saat itu tidak demokratis.
Keduanya kompak membentuk Tim Presidium Penyelamat Partai Golkar hingga menggagas munas tandingan di Ancol, Jakarta Utara pada 6-8 Desember 2014.
Hasil munas tersebut menempatkan Agung sebagai ketua umum dan Yorrys menjadi seorang wakil ketua umumnya.
Setelah itu, Partai Golkar mempunyai dua pengurus.
Kubu Agung dan Ical 'berebut' mendaftarkan kepengurusan hasil munas masing-masing dan meminta pengesahan ke Menkumham Yasonna Laoly pada Maret 2015.
Yasonna memutuskan mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung pada 23 Maret 2015.
Pengurus Partai Golkar kubu Ical melakukan perlawanan secara hukum dengan menggugat SK Menkumham dan minta Menkumham menerbitkan surat pengesahan pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali ke pengadilan hingga akhirnya MA mengabulkan sebagian gugatan pada 20 Oktober 2015.
Putusan MA ditindaklanjuti Menkumham Yasonna Laoly dengan mencabut SK kepengurusan Partai Golkar kubu Agung pada 30 Desember 2015.
Atas pencabutan SK itu, Agung Laksono mendorong dilakukannya musyawarah nasional (Munas) bersama pada Januari 2015.
Ia menilai saat ini tidak ada kepengurusan Partai Golkar yang sah atau legal dengan dicabutnya SK pengurus Partai Golkar hasil Munas Ancol oleh Menkumham.
Wakil Presiden yang juga politisi senior Partai Golkar sempat memfasilitasi rekonsiliasi dualisme kepengurusan ini hingga digelarnya Silaturahmi Nasional (Silatnas) di kantor DPP, 1 November 2015.
Agung, Ical, dan para pendukungnya hadir dalam acara untuk komitmen bersama pemenangan Partai Golkar dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015 itu.
Sejak acara silatnas itu, kedua kubu sepakat berbagi kantor dan membentuk tim pemenangan bersama untuk calon kepala daerah dari Partai Golkar yang bertarung dalam Pilkada serentak.
Namun, sejak saat itu pula Yorrys perlahan-lahan meninggalkan Agung Laksono.
Menurut Yorrys, sejak saat itu seharusnya kedua kubu bersama-sama mendukung kampanye para calon kepala daerah dalam pilkada serentak.
Namun, itu tidak dilakukan kubu Agung, justru sebaliknya.
Diantaranya Agung Laksono tidak menghadiri acara syukuran HUT ke-51 Partai Golkar di kantor DPP pada 26 November 2015.
Bahkan, Agung meminta mahar politik berupa sejumlah uang kepada sejumlah calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada serentak.
Yorrys mengaku sejak saat itu dirinya kecewa dengan kepemimpinan Agung Laksono.
"Saya sudah kecewa sebelum ada pencabutan SK dan soal listrik itu. Yah, saya kecewa terhadap Agung saja, orangnya tidak tanggung jawab, tidak ada kebersamaan, terutama saat pilkada serentak kemarin," beber Yorrys.
"Agung dan kelompoknya melakukan transaksi mahar untuk kepala daerah yang nyalon. Di situ saya mulai marah. Kalau partisipasi pemberian mahar boleh, transaksinya yang nggak boleh," sambungnya.
Menurutnya, kurang bijaknya Agung Laksono selaku pemimpin partai telah tampak saat menolak tawaran kursi dari Ical.
"Silatnas itu diprakrasai JK untuk rekonsiliasi kedua kubu dengan ditandatangani masing-masing pada 30 Mei 2015. Hingga Desember 2015, sebetulnya Aburizal Bakrie telah mau membuka diri untuk rekonsiliasi," ujar Yorrys.
Ungkap dia, Aburizal mau mengkomodir kader kubu Agung dengan masuk ke dalam struktur kepengurusan.
Dikatakan dia, posisi Agung tidak bisa dipaksakan, karena kubu Aburizal yang mengantongi keabsahan setelah ada putusan MA.
"Tapi, Agung bersikeras menolak dan menyatakan segala macam. Apa yang dilakukannya itu bukan untuk menyelamatkan partai, justru Agung menunjukkan sisi ego dan kepanikannya," ujarnya.
Kekecewaan Yorrys terhadap kepemimpinan Agung bertambah saat mengetahui Agung tidak bersedia membayar tagihan listrik selama dua bulan sebesar Rp400 juta, pajak PBB, gaji pegawai dan petugas keamanan kantor DPP.
Menurutnya, seharusnya Agung selaku ketua umum bertanggung jawab atas kewajiban kantor DPP.
"Kantor DPP sudah saya tutup dan saya kunci sejak 3 Desember 2015. Seharusnya dia sebagai ketua umum bertanggung jawab dong untuk bayar listrik, pegawai dan keamanan sejak berkantor bersama 1 Desember itu. Jangan dia lari tanggung jawab dong," tandasnya.