Haedar menceritakan kisah bagaimana suatu saat Bung Karno pernah bertanya dan heran karena setelah dirinya jadi Presiden tidak pernah ditagih iuran anggota Muhammadiyah.
Pertemuan berlangsung dalam suasana akrab dan cair. Selain membicarakan hal-hal yang substansi, dialog juga dibumbui dengan sejumlah canda dan usul yang perlu dipertimbangkan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti misalnya mengusulkan dipertimbangkan memproduksi film tentang Bung Karno.
"Perlu diproduksi film berkualitas tentang Bung Karno yang bisa mempengaruhi ide-ide generasi muda, dan menggambarkan sosok pembaharu pemikiran Islam," katanya.
"Sehingga desoekarnoisasi bisa dilawan, dan dapat digambarkan secara utuh Bung Karno yang dihormati di Indonesia dan luar negeri," usul Mu’ti.
Haedar menambahkan, Muhammadiyah siap untuk memberikan sumbang saran pemikiran terhadap PDIP sebagai partai terbesar di MPR dan DPR apabila ingin melakukan kajian akademis.
Salah satunya terhadap kemungkinan dilakukannya amandemen UUD Negara RI 1945 untuk merekontruksi pembangunan nasional melalui GBHN/PNSB dengan cara memberikan kewenangan MPR untuk kembali dapat menyusun dan menetapkan GBHN/PNSB.
Haedar menjelaskan dalam muktamar Muhammadiyah beberapa waktu lalu menelurkan Dokumen Negara Pancasila.
Dia juga menjelaskan sejumlah pakar Muhammadiyah juga melakukan penelaahan dan membukukan Indonesia Berkemajuan, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna dan Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Buku-buku tersebut diserahkan Haedar kepada Hasto diakhir pertemuan. Sementara Hasto menyerahkan buku Dibawah Bendera Revolusi, buku Sarinah dan buku Gerak Sejarah Partai Banteng.
"Kami meraskaan ada sesuatu yang hilang dalam perkembangan politik Indonesia setelah era reformasi meskipun ada juga sejumlah hal yang positif," kata Haedar.