TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA - Dalam Sensus Nasional tahun 2000 di Indonesia, tercatat ada 1.072 buah etnik besar dan kecil.
Pada tahun 2010 jumlah etnik ini meningkat karena adanya pemekaran jumlah etnik karena warganya sudah menjadi sangat besar.
Di sensus etnik tersebut, keturunan Tionghoa sudah dicatat sebagai salah satu etnik tersendiri.
Pada saat ini, membahas masalah etnik merupakan masalah yang sangat penting. Pengalaman sejarah menunjukkan etnik yang tidak dimaintenance dengan baik, dapat digunakan sebagai senjata asing dalam mengembangkan strategi divide et impera yang terkenal ampuh memecah belah suku bangsa yang hidup di Indonesia.
Hal ini terungkap Diskusi Panel Serial ke-6 dengan tema “Dinamika Proses Keindonesiaan” yang diselengarakan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB ) Sabtu (9/1`2016).
Dalam diskusi serial kali ini, hadir dengan pembicara adalah Prof. Dr. La Ode Kamaludin dan Ir. Michael Tedja, MT dengan membahas sub tema Etnisitas dan Akulturasi Peranakan.
Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur masalah ini.
Bahkan dalam dasawarsa tahun 1970-1980, membahas masalah etnik dianggap memiliki risiko keamanan yang harus diwaspadai. Ini tentu akan dapat menjadi masalah ke depan.
Selain ia dapat digunakan lagi, sebagai senjata negara lain seperti masa lalu, juga menimbulkan gesekan besar antar etnik. Sebab kini telah muncul ketidakpuasan antar etnik di Indonesia dari adanya kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok antar etnik pribumi dan etnik non pribumi.
Dimana etnik pribumi merupakan lapisan yang miskin dan etnik non pribumi merupakan lapisan yang kaya.