TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) pada oleh PT Pelindo II (Persero) yang dinilai Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat indikasi pelanggaran hukum dan kerugian negara dibantah pengacara mantan Dirut PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino, Maqdir Ismail.
Tiga unit crane yang didatangkan melalui perusahaan asal Tiongkok pada 2010, disebut Maqdir, dalam penggunaannya mengurangi biaya operasional bongkar muat di beberapa pelabuhan.
Maqdir mencontohkan BOR (Berth Occupation Ratio) atau tingkat penggunaan dermaga di Pontianak, Kalimantan Barat yang berada dibawah manajemen PT Pelindo II.
"Sejak penggunaan twin lift QCC pada tahun 2014, tingkat BOR di Pelabuhan Pontianak turun menjadi 43.2% sehingga biaya per kargo turun sebanyak Rp4 juta menjadi Rp2,5 juta," kata Maqdir dalam persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/1/2016).
Hasil penggunaan crane itu, disebutnya, telah membuat negara mengurangi pengeluaran sekitar Rp 1,8 miliar.
Proses pengadaan alat angkut peti kemas yang diduga tidak melalui prosedur, dijelaskan pengacara Lino, pada awalnya hendak melalui proses lelang.
Namun, dari tiga perusahaan yang mengikuti lelang pengadaan, satu di antaranya mengundurkan diri dan satu lainnya mengajukan barang berspesifikasi dibawah standar.
"Sehingga pengadaan dilakukan HDHM (Huang Dong Heavy Machinery)," kilahnya.
Sebelumnya, RJ Lino mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya pada Senin (28/12/2015), melalui pengacaranya Maqdir Ismail.
Permohonan tersebut dilayangkan setelah mantan Bos PT Pelindo II, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (18/11/2016) silam.
KPK menilai ada tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II pada 2010.
RJ yang memimpin PT Pelindo II saat itu, diduga melakukan penyalahgunaan wewenang karena menujuk langsung perusahaan asal Tiongkok, Huadong Heavy Machinery Co, tanpa mekanisme lelang.