TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino, Maqdir Ismail mempertanyakan jumlah kerugian negara dalam dugaan korupsi pengadaan tiga unit quay crane container (qcc) tahun 2010.
Menurut Maqdir, saat Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 28 Desember 2015, lembaga anti-rasuah itu belum memiliki bukti jumlah kerugian negara sebagai bukti permulaan.
"Saat pemohon (Lino) ditetapkan sebagai tersangka, termohon (KPK) belum mempunyai bukti permulaan," kata Maqdir Ismail dalam sidang praperadilan di Ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/1/2016).
Kuasa hukum Lino juga mencatut pernyataan Pelaksana harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati yang menyatakan pihaknya masih menghitung jumlah kerugian negara saat menjadikan kliennya tersangka.
"Hal tersebut tidak sesuai peraturan yang tertera di KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)," kata pengacara Lino.
Peraturan KUHAP yang dimaksud adalah pasal 1 angka 14 tentang penetapan tersangka harus didasari alat bukti permulaan.
Sebelumnya, RJ Lino mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya pada Senin (28/12/2015), melalui pengacaranya Maqdir Ismail.
Permohonan tersebut dilayangkan setelah mantan Bos PT Pelindo II, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (18/11/2016) silam.
KPK menilai ada tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit quay container crane di PT Pelindo II pada 2010.
RJ yang memimpin PT Pelindo II saat itu, diduga melakukan penyalahgunaan wewenang karena menujuk langsung perusahaan asal Tiongkok, Huadong Heavy Machinery Co, tanpa mekanisme lelang.