TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pelaku teror di Jalan MH.Thamrin Jakarta adalah residivis.
Keduanya adalah Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo alias Naim, yang pernah dipenjara karena kasus kepemilikan amunisi pada 2010 lalu.
Satu lagi adalah Sunakim alias Afif, yang sempat dipenjara karena terlibat pelatihan di Aceh pada 2009-2010 lalu.
Nampaknya proses hukum dan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap keduanya, tidak membuat mereka meninggalkan ideologi radikal. Terbukti pada Kamis lalu (14/1), di mana terjadi aksi teror yang menewaskan dua warga dan satu warga negara asing. Naim adalah otak dibalik aksi tersebut, sedangkan Afif adalah salah seorang eksekutor.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), setuju bila perlu ada perbaikan proses deradikalisasi.
Salah satunya adalah untuk menjamin para pelaku yang sudah sempat diamankan, tidak akan melakukan tindakan yang serupa.
"Pastilah, banyak yang perlu diperbaiki," kata Jusuf Kalla kepada wartawan, di kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Senin (18/1/2015).
Proses deradikalisasi selama ini sudah dilakukan dengan maksimal. Pemerintah telah menggandeng sejumlah pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) hingga Muhamadyah. Namun masih saja ada pelaku teror yang tidak mempan dideradikalisasi pemikirannya.
Ia menyamakan fenomena tersebut dengan kasus narkoba. Para pelaku yang sudah dihukum, justru setelah bebas bisa melakukan kejahatan dengan skala yang lebih besar. Oleh karena itu pemerintah kini membedakan antara pecandu dan pengedar.
Proses penyebaran paham radikal diketahui juga menyebar di penjara. Dari sejumlah kasus terungkap sebagian pendukung gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, menerima pemahaman mereka saat dipenjara.
Jusuf Kalla menilai hal tersebut juga perlu diperhatikan. Ia khawatir bila penjara justru jadi ajang untuk menimba pemahaman yang lebih dahsyat lagi tentang radikalisme.
"Bahaya, nanti bakal jadi universitas teroris," ujar JK dengan nada bercanda.