TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana penerbitan Perppu tentang Revisi UU 15/2003 tentang Pengesahan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan langkah reaktif pemerintah yang memanjakan aparat keamanan, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN).
"UU tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memberantas terorisme dan terbukti Polri/BNPT selama ini mampu menangani terorisme dan mengurai jaringan teror di Tanah Air," ujar Hendardi, Ketua Setara Institute, Selasa (19/1/2016).
Menurut Hendardi, berbagai kekhususan penindakan, kategori alat bukti, dan mekanisme kerja yang disediakan oleh UU 15/2003 telah menyediakan kemewahan bagi aparat untuk mengatasi terorisme.
Demikian juga penindakan terkait pendanaan aksi teror, telah diatur dalam UU 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teorisme.
"Jadi tidak relevan menjawab teror di Jl. MH. Thamrin dengan menerbitkan Perppu," ujarnya.
Menurutnya, isu utama pemberantasan terorisme adalah kinerja deradikalisasi yang tidak komprehensif, sinergis, dan berkelanjutan.
Perppu harus ditolak apalagi dengan rencana pemberian kewenangan pada BIN untuk melakukan penangkapan.
"BIN adalah pengepul informasi yang secara cepat dan mekanistik harus disalurkan ke aparat penegak hukum," katanya.
Dijelaskan, potensi pelanggaran HAM akan sangat kuat jika pemberantasan terorisme dilakukan membabi buta, termasuk keluar jalur dari sistem peradilan pidana, di mana Polri yang memiliki kewenangan menegakkan hukum.
Jadi dalam soal penindakan, katanya, isu utamanya adalah koordinasi antar institusi keamanan dan ego sektoral antarinstitusi itu yang perlu dihilangkan.
"Jangan sampai Perppu merusak sistem penegakan hukum yang hanya memperkuat kontestasi antarinstitusi keamanan," katanya.
Mengenai alasan kurangnya kewenangan dalam menindak, Hendardi mengatakan sebenarnya terjawab kalau Polri memaksimalkan jenis tindak pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, dimana setiap dugaan kuat dengan dua alat bukti yang cukup, pelaku bisa ditindak.