TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Bidang Pengaduan Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo, menilai kacau pemberitaan media saat teror terjadi di kawasan Sarinah Jalan MH.Thamrin Jakarta pada 14 Januari 2016 lalu.
Ini yang membuat masyarakat semakin bingung di tengah kepanikan akibat teror bom.
Dalam diskusi yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (24/1/2016), Yoseph atau yang akrab dipanggil Stanley itu menyebut kekacauan tersebut terjadi di banyak media, pada lima jam pertama setelah teror terjadi, pada sekitar pukul 10.36 WIB.
"Lima jam pertama itu kacau informasi. Ada soal teroris kabur dengan menggunakan sepeda motor, ada soal ledakan di Palmerah," ujarnya.
Ia menyayangkan langkah sejumlah media yang cuma "menelan" informasi dari media sosial, atau dari sumber yang tidak jelas lainnya.
Ia menyayangkan sejumlah media tidak menjalankan fungsi konfirmasi.
Alhasil pemberitaan yang belakangan diketahui tidak akurat tersebut, menyebabkan teror di sebagian wilayah Jakarta.
Hal itu mungkin tidak akan terjadi, bila media-media yang memberitakan hal itu menjalankan fungsi konfirmasi.
Kasus tersebut terjadi di media daring dan televisi. Media daring menyebarkan informasi yang tidak terkonfirmasi melalui artikelnya, sedangkan media televisi, menyebarkan hal yang sama melalui running text.
Keadaan mulai membaik, setelah media mulai mengutip sumber-sumber resmi.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Muhammad Iqbal, adalah salah satu sumber resmi pertama yang dikutip yang menjelaskan soal duduk perkara sebenarnya.
"Setelah lima jam itu, arah pemberitaan sudah mulai membaik. Sehari setelahnya juga, pemberitaan sudah mulai normal," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut Stenly juga menyinggung soal munculnya gambar jenazah masyarakat yang menjadi korban teror di media massa terutama televisi.
Parahnya lagi, hal itu dilakukan berulang-ulang.