TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai upaya mencegah aksi terorisme, diperlukan peran intelijen. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat salah satu fungsi keamanan tersebut.
Koordinator Presidium Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad), Haris Pratama, mengatakan aksi teroris di Thamrin terjadi karena intelijen lengah.
Untuk itu, peran intelijen sebagai garda terdepan dalam penanggulangan kejahatan teroris juga memerlukan kewenangan yang "lebih".
"Fungsi intelijen harus diperkuat dan diperluas, bukan hanya menggali informasi dan pendeteksian dini, tetapi berwenang menindak pihak yang akan melakukan kejahatan," tutur Haris dalam keterangan pers yang diterima wartawan, Senin (25/1/2016).
Pola dan prosedur intelijen, kata Haris, harus diatur berbeda dengan kewenangan aparat penegak hukum. Penangkapan lebih diprioritaskan untuk pencegahan secara dini. Hasil intelijen itu diproses oleh aparat
penegak hukum.
Oleh karena itu, Kamerad mendesak agar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi. Direvisi terutama berkaitan penguatan lembaga intelijen yakni fungsi yang lebih luas dengan penindakan secara dini bentuk kejahatan teroris.
Sehingga serangan teroris di Indonesia dapat dicegah dengan kuatnya lembaga intelijen, karena badan intelijen Indonesia dapat mencegah secara dini terorisme yang terjadi di Indonesia.
"Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 perlu dilakukan, sehingga dapat memperbaiki fasilitas bagi lembaga intelijen, penguatan lembaga deradikalisasi teroris, memahami penyebab terorisme, dan memperlakukan teroris sesuai hak asasi manusia," kata dia.
Melihat pentingnya fungsi intelijen mencegahan aksi teroris, pihak Kamerad menuntut DPR khususnya Komisi I memperkuat peran intelijen dalam mencegah dan menindak terorisme. Penyampaian tuntutan dilakukan di depan Gedung DPR RI, Senin (25/1).