TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang No30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016.
Badan Legislasi (Baleg) DPR pun langsung bekerja sebagai bentuk harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada dengan mendengarkan masukan dari masing-masing fraksi di DPR.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Risa Mariska mengatakan, fraksinya sebagai pengusul awal RUU KPK memberikan catatan terhadap pasal-pasal mana saja yang akan direvisi.
Namun, menurutnya, yang jelas terdapat 40 anggota DPR dari 6 Fraksi yang mengusulkan akan UU KPK di revisi.
"Pengusul ada 40 orang dari 6 fraksi," kata Risa di Gedung DPR, Jakarta, Senin (1/2/2016).
Risa menuturkan, pasal-pasal yang perlu direvisi yang dimaksud antara lain, pertama, penyadapan yang diatur dalam pasal 12A-12F.
Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan mengenai izin penyadapan dan mekanisme untuk melakukan penyadapan.
"Dari yang sudah ada kemarin, kewenangan KPK tidak ada yang dikurangi. Supaya kuat menambahkan fungsi penyadapannya dan dewan pengawas," tuturnya.
Kedua, dewan pengawas yang diatur dalam pasal 37A-37F.
Dalam ketentuan tersebut, diatur mengenai pembentukan Dewan Pengawas, tugas pokok dan fungsi, syarat syarat untuk menjadi anggota dewan pengawas serta pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan pengawas.
"Dewan pengawas, kepada etik saja bahwa ini hanya usulan kalau ada yang dirasa kurang," katanya.
Wanita yang juga menjabat sebagai Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ini mengatakan, RUU KPK harus sesuai dengan KUHAP, membangun sinergitas antara lembaga penegakan hukum yang lain.
"KPK belum baca draf terakhir, KPK hanya membaca draf yang lalu," katanya.
Risa menilai, penolakan dari berbagai kalangan atas RUU KPK ini sangat wajar.