TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Kekerasan atas nama agama di Indonesia terus mengalami peningkatan. Bila tak diredam, maka tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini dungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus (TB) Hasanuddin berdasarkan pengamatan praktis perkembangan peta konflik di Indonesia.
Membaca hasil penelitian PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi) Paramadina, insiden kekerasan di Indonesia sejak 1990 hingga 2008 tercatat sebanyak 274 kasus.
Urutan pertama, masyarakat sebagai pelaku kekerasan agama (47,8%), sementara pelaku kekerasan dari kelompok agama menempati urutan kedua (10,6%), sisanya berupa kasus-kasus lain.
"Mencermati hasil pengamatan dan penelitian tersebut di atas, ternyata sejak 2009 sampai sekarang kasus kekerasan atas nama agama bukan menurun, tapi semakin meningkat," kata Hasanuddin,Minggu (7/2/2016).
Hasanuddin mencontohkan, insiden di Cikeusik, Banten pada 6 Februari 2011, konflik Tolikara di Papua, konflik Singkil di Aceh, insiden evakuasi pengikut Gafatar di Mempawah Kalbar, dan kemarin, insiden di Bangka terhadap jamaah Ahmadiah.
Termasuk konflik yang terjadi di Timur Tengah, imbuhnya, terutama di Suriah akhir-akhir ini juga sangat berpengaruh terhadap peta konflik di Indonesia .
"Aksi teroris yang terjadi di Indonesia misalnya, diprediksi ada hubungannya dengan ISIS," tutur mantan Kepala Staf Garnisun Wilayah DKI Jakarta ini.
Pertentangan aliran agama di Timur Tengah, lanjutnya lagi, seperti di Irak, Saudi Arabia, atau di Suriah mau tidak mau, suka tidak suka, sangat berpengaruh terhadap gerakan membesarnya intoleransi di Indonesia.
"Katakanlah intoleransi di Indonesia meningkat akibat pengaruh konflik aliran di Timur Tengah," ujarnya.
Hal ini, tegas Hasanuddin lagi, tidak bisa dibiarkan, dan berdasarkan data intelijen, kemungkinan konflik berpotensi sangat tinggi bila negara tidak serius hadir menanganinya.
Intoleransi itu, Hasanuddin yakin, akan terus berkembang bila negara abai dan tak hadir disana .
Pejabat di daerah, menurutnya, cenderung diam dan lebih suka mengambil jalan pintas "mengevakuasi", bukan mencari solusi terbaik. Mereka, Hasanuddin menduga, mungkin takut karena kepentingan politiknya terganggu saat pilkada nanti.
"Polri harus kita akui sangat sigap menghadapi teroris. Dan kita apresiasi untuk itu. Tapi entah mengapa jadi terkesan lambat bahkan abai terhadap konflik intoleransi," mantan Sekretaris Militer ini menegaskan kembali.