Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Konflik dualisme kepengurusan Golkar dinilai lebih sulit diselesaikan dibanding yang terjadi di era-1998.
Saat itu, Golkar dihadapkan pada keinginan banyak pihak untuk dibubarkan.
"Yang paling penting, apalah seluruh kader sadar akan situasi itu, yang kita hadapi," kata Wasekjen Golkar Munas Riau Ahmad Doli Kurnia dalam diskusi 'Re-Branding Partai Golkar' di kawasan Jakarta Pusat, Jakarta, Minggu (28/2/2016).
Doli mengatakan konflik 1998 merupakan salah satu titik sejarah Golkar. Dimana, Golkar yang hampir terpuruk dan bangkit kembali.
Saat itu, musuh Golkar dari pihak eksternal yang menginginkan partai berlambang pohon beringin itu bubar.
"Karena Golkar mengikuti rezim pemerintahan tertentu. Menopang rezim yang jatuh sehingga Golkar juga harus diruntuhkan," imbuhnya.
Namun, kata Doli, munculnya Akbar Tandjung menjadi Ketua Umum Golkar berefek positif. Akbar dinilai simbol rezim reformasi sehingga Golkar bisa bangkit dan memenangkan pemilih.
Doli melihat konflik yang terjadi saat ini juga terjadi karena adanya tekanan dari pihak eksternal. Dimana, mereka menginginkan Golkar menjadi kecil bahkan bubar.
"Kelompok yang ingin Golkar kecil dan bubar. Inti bisa tersambut karena situasi Golkar sekarang, kalau kader Golkar tak sadar, sama saja mengikuti pihak eksternal yang ingin Golkar bubar," katanya.
Menurut Doli, Munas Golkar yang akan digelar pada bulan April 2016 dapat menjadi titik balik partai untuk bersatu kembali. Golkar juga diharapkan dapat bangkit kembali.
"Re-branding ini kalau soal barang, moment tertentu, harus dilakukan kalau barang lima tahun, harus dire-branding. Ini harus dilakukan secara rutin apalagi Golkar situasinya sedang terpuruk," tutur Doli.