Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat gerhana matahari total pada tahun 1983, ketua Komisi Dakwah MUI Pusat Cholil Nafis masih duduk di bangku sekolah.
Namun saat itu, cerita yang dikisahkan orangtua kepada anak-anak seusianya, gerhana diasumsikan terjadi sebagai akibat perilaku manusia yang banyak melakukan maksiat.
Karenanya yang harus dilakukan bukan menyaksikan langsung fenomena alam langka tersebut.
Tapi, tindakan yang harus dilakukan adalah memperbanyak doa.
"Dulu tahun 1983 saya masih usia Sekolah hanya mendapat cerita dari orangtua agar banyak berdoa," kisah Cholil kepada Tribun, Rabu (9/3/2016).
Dia pun saat itu tidak berani melawan cerita orangtua untuk memberanikan diri menyaksikan gerhana matahari.
Ditambah lagi, pemerintah pun saat itu mengeluarkan maklumat larangan melihat gerhana mata hari.
Dampak akan membuat kebutaan menjadi bumbu menakut-nakuti masyarakat saat itu.
"Saya tidak berani menyaksikan karena khawatir mata jadi buta akibat cahaya dari gerhana. Jadi semuanya naik ke masjid untuk salat," kenangnya.
Kini setelah 33 tahun berlalu, Rabu (9/3/2016) fenomena alam gerhana matahari kembali melintas di bumi Indonesia.
Akan tetapi Cholil tidak punya rencana untuk menyaksikan gerhana matahari total di daerah atau tempat yang menyelenggarakan nonton bareng fenomena alam itu.
Menyambut fenomena langka Gerhana Matahari Total yang jatuh Rabu (9/3/2016), Cholil memilih menggelar Salat gerhana.
"Jika kita melihat gerhana maka sebaiknya shalat, berdo'a dan istighfar. Demikian sabda Nabi SAW memperingati umat agar menyikapi gerhana dengan baik," ujar ketua Komisi Dakwah MUI Pusat ini.
Dikatakan dia, sesungguhnya Matahari dan Bulan merupakan tanda kebesaran Allah.
Gerhana tidak berarti karena siksa atau duka atas kematian seseorang.
"Gerhana terjadi sebagai tanda bahwa Bulan dan Matahari tak pantas disembah meskipun besar dan bersinar," kata Cholil.
Karena itu, cara menyikapi gerhana matahari total dengan berdoa dan Salat.