News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ada Tiga Versi Naskah Supersemar Namun Tidak Otentik

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Disebutkan ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.

Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar.

Kedua, proses mendapatkan surat itu.

Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.

Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.

Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).

Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut.

Perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan.

Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.

"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.

Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.

Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.

Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya.

Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.

Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.(Kristian Erdianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini